Abi di Dalam Botol

Yoseph Setiawan Cahyadi
Chapter #10

Segunung Rasa Bersalah

Hari itu hari Minggu. Hari di mana biasanya seisi keluarga menghabiskan waktu bersama. Melepaskan penat dan lelah yang sudah terakumulasi selama enam hari dan merelakan mereka dalam bentuk tawa sekaligus air mata. Waktu yang tepat untuk berbagi suka dan duka bersama keluarga. Namun yang kualami pada saat itu sungguh berbeda.

Saat itu aku masih berusia 10 tahun, Mamaku sedang disibukkan dengan membersihkan kandang-kandang burung peliharaannya. Dia tidak suka dengan burung. Dia suka dengan suaranya yang menyambut hari dengan lebih ceria. Mungkin dia sendiri menyadari kalau terapi semacam itu dia butuhkan untuk bisa mengontrol emosinya. Atau mungkin dia memelihara burung itu untuk bersaing dengan tetangganya, yang waktu itu juga memiliki burung yang sama.

           Setiap pagi aku selalu mendengar dua burung kenari itu berlomba menciap satu dengan yang lainnya. Satu hari burung kenari tetangga yang akan menciap lebih panjang dan lebih nyaring namun di hari lainnya, keadaan bisa berbalik. Biasanya ketika burung yang mamaku pelihara menciap lebih panjang, wajahnya akan berseri-seri. Dan jika hal yang sebaliknya terjadi, wajahnya akan berubah menjadi muram sepanjang hari.

           Pagi itu burung kenari mamaku menciap dengan nyaring dan indah. Dia bernyanyi dengan panjang, jauh lebih panjang dari burung tetangga. Rasa bangga tentu terpatri di dalam hati mamaku. Wajahnya nampak memerah karena perasaan bahagia yang dia rasakan. Sebagai imbalan atas prestasi burung kenarinya, hari itu dia menyiapkan makana yang Istimewa untuknya.

           Kalau biasanya si burung kenari hanya memakan daun caisim sebagai makanannya. Khusus hari itu, mama sudah memberikan ulat hongkong yang bentuknya mirip belatung. Saat itu aku memahami kalau ulat itu memang berasal dari Hongkong dan tidak punya pikiran kalau itu benar diternakkan di Indonesia. Tak lupa dia memberikan satu butir telur puyuh.

Aku mengenal mamaku sebagai pribadi yang rajin memberi namun selalu meminta pamrih. Tentu saja makanan yang diberikan kepada kenari kecil itu tidak gratis, ada harapan besar dalam diri mamaku agar ciapan kenari peliharaannya bisa terus mengalahkan kenari tetangga yang bisa dibilang hidup serba pas-pasan. Tidak seperti kami yang masih punya sedikit lebih.

Aku pun diberi tugas untuk memasukkan wadah makanan berisi ulat-ulat berwarna krem itu ke dalam kendang kenari setelah mamaku selesai membersihkan kandangnya. Dia tidak memberitahuku bagaimana cara yang benar untuk melakukan itu dan dengan polosnya aku membuka pintu kadang kenari itu lebar-lebar dan memasukkan lenganku, yang dulu masih ramping ke dalam kendang.

Aku tidak menduga kenari itu begitu pintar dalam melihat celah yang cukup besar di antara lengan dan pintu kendang. Dengan cekatan dia melompat keluar lalu terbang begitu saja ke atap tetangga. Saat itu perasaanku langsung berubah memburuk.

“HAHHHHHHHHH???” Teriak mamaku dengan suara nyaring.

“Goblok banget!!!!”

Dia bangun dari posisi duduknya dan mencoba mengejar kenari yang bertengger di atap tetangga. Namun usahanya nol besar karena kenari itu sudah kabur bahkan sebelum dia sempat mendekat.

Dorongan yang kuat langsung menerpa kepalaku yang membuatku jatuh ke lantai. Kepalaku membentur lantai dan benjol besar langsung muncul.

“Aduh! Aduh!” Aku mengaduh sejadi-jadinya,

Tidak termakan oleh teriakan kesakitannku, mamaku buru-buru mengambil rotan di atas sofa lalu memukulkan rotan itu ke paha dan betisku. Penderitaanku tidak berhenti sampai di situ.

Lihat selengkapnya