Abi di Dalam Botol

Yoseph Setiawan Cahyadi
Chapter #12

Menuju ke Malang

Terminal, tempat lautan manusia yang terus bergerak dinamis dan tak pernah berhenti. Tempat terik matahari beradu dengan peluh yang menjadikan udara beraroma pekat dan sedikit sangit. Semua orang berdesak-desakkan, dipaksa untuk bergerak tiada henti. Tidak banyak tempat yang tersedia untuk sejenak melepaskan penat dan juga lelah. Hanya sedikit bagian dari tempat ini bisa menjadi tempat untuk bersembunyi, sekejap saja dari rasa bersalah dan juga penyesalan.

           Di bilik toilet terminal aku merapihkan isi tasku. Ada dua tas yang aku bawa. Satu tas kecil, tas slempang aku lingkarkan di sepanjang bahuku sementara tas yang isinya lebih besar dan leluasa aku akan jinjing. Aku menaruh botol mini yang masih berdetak lembut ini di atas tumpukan selimut. Di bagian samping-sampingnya, ada tumpukan bajuku berserta peralatan mandi yang sudah kusiapkan. Sengaja aku bentuk ruang yang lebih besar agar botol ini bisa bernafas dengan lebih leluasa. Tidak lupa di atasnya aku tutupi dengan beberapa lapis kain tipis atau selendang agar membuat anakku yang berada di dalam botol ini merasa lebih sejuk.

           Aku sudah menyiapkan rencana yang sempurna. Aku berangkat dari terminal Lebak Bulus dengan bus eksekutif pada pukul 03.00 sore. Dan jika semuanya sesuai dengan prediksi, aku akan sampai di Malang tepat setelah subuh. Bus yang kunaiki adalah bus dari sebuah perusahaan yang sudah terkenal. Hanya inilah wahana terbaik yang bisa aku hadirkan untuk diriku dan anakku untuk bisa sampai ke sana. Uangku tidak akan cukup untuk membiayai kepergian kami dengan menggunakan kereta, walau aku menyadari perjalanannya akan lebih cepat beberapa jam. Ya hanya beberapa jam. Itulah mengapa aku rela menukar beberapa jam itu dengan uang yang lebih sedikit.

           Aku tidak memberitahu Ambar tentang kepergianku. Kami sudah sama-sama diam sejak semalam. Dia tidak menanyakan keadaanku dan aku pun tidak. Bahkan semalam aku habiskan tidurku, yang jauh dari kata nyenyak, di sofa. Aku tahu dia pun pasti menghabiskan malam yang panjang sama seperti yang kulakukan. Biasanya, dia menghabiskan malam sebelum tidur dengan bercengkerama dengan Ganindra terlebih dahulu. Ada kalanya dia merespon dengan baik, namun seringnya, pikirannya terbang entah kemana yang diikuti dengan sorot matanya yang tak menentu.

           Namun kemarin, tentu menjadi malam yang berbeda untuknya. Sudah seringkali aku mengutarakan penyesalanku dengan kalimat-kalimat sampai aku sendiri menjadi jemu. Sudah saatnya aku bertindak, dan inilah jalan yang aku pilih. Berangkat sendiri ke Malang, mengejar nenek itu, yang aku yakin punya jawaban dari ini semua. Aku harus bertanggungjawab atas apa yang tidak sengaja aku perbuat. Aku bahkan tidak pernah menginginkan hal ini terjadi. Bagiku ini juga satu-satunya jalan untuk membuat dia tak khawatir meski jauh di lubuk hatiku, suara itu mengatakan hal yang sebaliknya.

Lihat selengkapnya