Abi di Dalam Botol

Yoseph Setiawan Cahyadi
Chapter #14

Menjemput Impian

14

           Langkah kakiku begitu cepat dan tidak keruan. Nafasku tersengal-sengal. Mulutku ikut terbuka mencoba mencari tambahan pasokan oksigen ke tubuhku untuk membakar glukosa yang tersimpan di setiap sel demi menghasilkan energi yang lebih terutama untuk kaki, mata dan juga kepalaku. Kedua mata kuarahkan ke kanan dan ke kiri sambil memutar otak mencari cara.

          Pak Sunil menerima ide ceritaku namun ada syarat besar yang aku harus penuhi dengan segera. Waktuku hanya malam ini. Begitu katanya di panggilan telepon tadi. Dia tidak akan bisa janji untuk bisa menembuskan ide ceritaku ke investor-investor kalau aku tidak mengirimkan cerita itu hingga besok pagi jam 8 karena dia sendiri tidak yakin, kapan bisa bertemu dengan investor-investor bonafide ini di kemudian hari.

        Langkahku terhenti ketika otot kakiku mulai gemetaran. Efek obat penenang alprazolam masih bekerja di seluruh sistem sarafku sementara kini kesadaranku yang penuh mencoba mengambil kendali. Aku mengambil nafas pendek dan singkat sejenak untuk mengumpulkan energi. Meski begitu, aku tetap kutengokkan wajahku ke kanan dan ke kiri mencari warung-warung kecil yang memiliki laptop agar aku bisa mengirimkan revisi synopsis segera.

         Ada banyak elemen dari ketiga ceritaku yang masih harus diperbaiki menurut Pak Sunil. Di cerita keluarga panikan, pak Sunil menginginkan pertaruhan yang lebih terasa agar cerita bisa semakin kokoh. Aku setuju dengan pendapatnya yang itu. Yang aku tidak setujui adalah penambahan elemen horror di ceritaku. Mengingat horror adalah genre yang sangat diminati oleh masyarakat Indonesia saat ini dan jikalau elemen ini tidak ada, malah membuat filmnya tidak akan dilirik oleh penonton. Tentu saja, sebagai penulis cerita aku punya pendapat yang berbeda. Jika ingin becerita, bagiku tidak boleh nanggung. Kalau mau komedi ya, komedi seklaian. Kalau mau horror ya, horror sekalian. Elemen-elemen tertentu bisa ditambahkan asal jangan sampai tidak nyambung dengan penceritaan. Masalahnya cerita keluarga Pak Nikan itu adalah cerita drama keluarga komedi dan mereka tidak sedang bersinggungan dengan dunia klenik ataupun rumah berhantu.

       Di cerita kedua yang mengetengahkan seorang PSK yang traumatis, aku diharapkan mengubah banyak hal terutama dari segi profesi karakter utama dalam cerita ini. Pandangan miring tentang PSK masih sangat mendominasi pola pikir kebanyakan orang-orang Indonesia. Padahal, cerita-cerita dari sudut pandang mereka justru akan memperkaya pengetahuan kita sekaligus memberikan perspektif yang berbeda terhadap cara berpikir yang selama ini disematkan kepada pekerja seks komersil. Tokoh utama dalam ceritaku tidak semata-mata melakukan pekerjaan itu untuk alasan ekonomi, dia melakukan itu sebagai perlawanannya terhadap trauma yang dia rasakan akibat dijual oleh ayahnya ketika masih remaja. Untuk cerita ini aku menemui kendala yang sangat berarti karena ketika kita mengubah pekerjaannya, berarti akan ada banyak perspketif yang bergeser yang pada akhirnya memengaruhi keinginan dan kebutuhan karakternya. Ujung-ujungnya akan mengubah seluruh jalan cerita yang sudah kubuat.

       Untuk ide ceritaku yang terakhir, mengenai anak SMP yang menjadi joki nilai serta harus mengungkap kasus pembakaran sekolah, tidak banyak komentar yang kuterima selain dari masuk akal atau tidak mengetengahkan karakter remaja SMP yang bisa memecahkan kasus pembakaran yang rumit. Komentar terakhir ditujukan kepada motif tokoh utama, yang dirasa Pak Sunil kurang kuat dalam menggerakkan cerita untuk delapan episode series. Padahal jikalau mengacu kepada series-series lain yang sudah beredar di beberapa platform menonton daring, tidak pernah ada masalah dengan hal itu. Begitu banyak Series-series Indonesia yang menceritakan remaja SMP atau SMA yang memecahkan kasus dengan motivasi sebatas rasa suka atau rasa penasaran. Aku rasa untuk memperbaiki ini, aku hanya butuh menaikkan pertaruhan sehingga motivasi menjadi semakin kuat.

        Aku langsung usir pikiran-pikiran yang memenuhi benakku tadi ketika aku menemukan sebuah warung di pojok rest area ini yang sepertinya memiliki laptop, Laptop itu sedang digunakan oleh anak pemiling warung itu.

         “Bu, boleh saya minta tolong pinjam Laptop anak ibu terlebih dahulu?” Kataku dengan nafas terengah-engah.

         Ibu itu memelototi aku seolah-olah aku hendak mengambil laptop anaknya. Aku buru-buru merogoh kantung celanaku dan mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari dompetku lalu menyodorkannya kepadanya.

Lihat selengkapnya