Abi di Dalam Botol

Yoseph Setiawan Cahyadi
Chapter #17

Namanya Leo

17

           Suara kukuruyuk ayam terdengar nyaring sekali di telinga. Aku pun membuka mataku kembali secara perlahan. Masih membekas ingatan tentang suatu malam di mana aku terbangun karena mendengar suara music cadas. Aku lihat sekeliling tempat aku tertidur sekarang. Masih yang sama seperti tadi malam.

           Aku tidak butuh menampar pipiku untuk memastikan apakah aku sepenuhnya sadar atau masih dalam mimpi. Rasa sakit hebat di bagian perut sebelah kanan sudah membuktikan kepadaku kalau sekarang aku benar-benar sadar.

           Ada kayu yang sudah dihaluskan dan dipelitur dengan warna coklat tua di samping. Bau pelitur masih tercium. Aku pegang kayu tersebut. Bukan jenis kayu sembarangan. Kayu-kayu seperti ini biasa digunakan di rumah-rumah orang-orang kaya. Untungnya, pikiranku masih waras, karena kalau tidak aku bisa mengira kalau ini adalah surga. Sebuah angan yang jauh dari kenyataan. Menjadi orang tua yang terbaik untuk anakku saja, masih jauh dari kata bisa.

     Aku mencoba untuk bangun namun rasa nyeri yang begitu dahsyat di perutku menghalangiku. Aku menyentuhkan ujung jariku ke perut bagian kananku. Ada perban kain kasa yang menempel di sana. Darah nampak merembes sedikit ke dalam permukaan perban tersebut menjadikan permukaan yang tadinya putih menjadi kemerahan bahkan, cenderung menghitam.

           Darahnya sudah kering.

           Aku mendengar langkah kaki datang mendekat. Dengan cepat suara langkah kaki itu berganti dengan suara nyaring pintu jati yang dibuka. Engsel-engsel dari pintu tersebut mungkin sudah aus sehingga menghasilkan bunyi mendecit yang cukup mengganggu.

           “Oh sudah bangun rupanya.”

         Seorang lelaki paruh baya masuk ke dalam kamar. Dia langsung mendekat dan mencoba untuk menghalangi usahaku untuk duduk.

           “Jangan dipaksa dulu. Luka mas masih basah sebenarnya. Di luar nampak kering. Tapi di dalam masih terbuka dan menganga.”

           “Emangnya kenapa saya?” Aku bertanya keheranan.

         “Oh mas nggak tahu ya? Perut mas itu tertusuk ranting pohon. Cukup dalam. Kaki mas juga terkilir. Untung ada Udin, penjaga rumah ini yang menemukan mas dua malam kemarin.”

       Jantungku langsung berdegup kencang. Aku segera menengok ke kanan dan ke kiri. Mencari sesuatu yang seharusnya selalu kubawa di sampingku.

           “Anakku… Ganindra!”

Lihat selengkapnya