19
Tidak pernah habis-habisnya Pak Sidik membuatku terkejut. Setelah ketelitiannya dalam merawatku membuatku takjub, kini kemampuannya dalam memperbaiki ponsel yang masuk ke dalam kubangan air membuatku terpana.
”Dulu aku pernah bekerja di tempat reparasi HP.” Ujarnya di sela-sela keseriusannya mengotak-atik dalaman dari hpku.
”Bapak punya banyak talenta!” Kataku memuji.
”Ah jangan gitu mas, kan jadi enak sayanya.”
Aku tertawa mendengar guyonannya. Harus kuakui tangannya benar-benar terampil dalam mengambil bagian-bagian kecil dari ponselku.
”Untung IC nya gak kena.” Serunya.
Aku sedikit bisa bernafas lega ketika dia mengatakan itu dan dalam waktu yang tidak lama setelah dia mengatakan itu, dia menyerahkan ponselku kembali ke tanganku.
”Cuman tinggal di charge doang ya mas.” Katanya sambil menyerahkan kabel dan kepala colokan kepadaku.
Setelah aku colok kabel itu dan kusambungkan ke ponselku, aku meletakkan ponsel itu di atas meja. Ada kekhawatiran dan keraguan menyelinap di balik hatiku.
”Bilang ke istri mas, kondisi mas baik-baik saja kan ada Pak Sidik yang ngerawat!”
Aku kembali tergelak mendengar celotehannya yang jujur membantuku mengurangi keteganganku. Aku berencana untuk memejamkan mataku sekali lagi guna memulihkan kondisiku dalam satu hari ini sambil menunggu baterai ponselku terisi penuh. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Jantungku tidak pernah berhenti berdisko. Rasa penasaran sekaligus takut jadi bertabrakan di dalam benakku. Apakah ada kabar dari Pak Sunil? Bagaimana kalau aku ditolak lagi?
Aku putuskan untuk menunggu beberapa saat. Dan saat itulah Leo datang dengan kursi rodanya.
”Ajari aku caranya menulis skenario!”
”Hah? Sekarang?”
Dia menganggukkan kepalanya dengan cepat.
”Dari mana aku harus mulai?” tanyanya.
Aku mengambil ponselnya dari tangan kanannya lalu memasukkan frasa kunci di google. ”Character Beat Sheet”. Setelah menemukan apa yang cocok, aku mengembalikan ponselnya kepada nya.
”Selalu mulai dengan karakter karena tidak akan ada plot tanpa karakter. Karaktermu harus kuat.”
”Tapi ada satu hal yang kamu tidak boleh lupa sebelum kamu menentukan karaktermu. Kamu sudah punya bahan bakar dalam bercerita. Dan aku tahu kau sudah punya itu.”
Aku mengambil jeda sesaat untuk membuat rasa penasarannya meninggi. Dia nampak menunggu-nunggu jawaban yang hendak kuucapkan.
”Keresahan dan Motivasi! .... Apa yang kamu sedang pikirkan tentang lingkunganmu atau tentang dunia yang kamu tinggali. Lalu jadikan itu motivasi bagimu untuk mengomentari dan memotret situasi tersebut lewat hidup dari karaktermu.”
Hatiku berdebar dengan kencang ketika menerangkan hal ini kepada Leo. Adrenalinku memuncak seolah-olah ingin mengatakan kalau mengajarkan orang lain cara menulis skenario yang baik adalah hal yang sudah lama aku dambakan. Namun itu bukan berarti ketika mengajarkan murid-muridku pelajaran Matematika atau Bahasa Inggris adrenalinku tidak ikut naik. Hanya saja penulisan skenario dan film selalu punya tempat terbaik di hatiku. Mempelajari dua hal di atas sama sekali tidak membuatku terbeban, hal yang sama juga aku rasakan ketika mengajarkannya kepada orang lain.
”Dan pastikan karaktermu memiliki dua hal ini. Wants dan Needs. Wants adalah sesuatu yang ingin karakter dapatkan, yang membuat mereka melakukan perjalanan. Sementara Needs adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh karakter. Needs ini akan berkaitan erat dengan perubahan Character Arc dan juga kepada tema cerita.”
”Jangan lupa untuk menjadikan cerita kita menarik, karakter kita harus menemui hambatan sehingga perjalanannya untuk mencapai apa yang dia inginkan menjadi tidak mudah. Semakin besar wants, semakin besar pula hambatannya maka akan semakin menarik juga ceritanya.”
Leo mendengarkan penjelasanku dengan begitu seksama. Namun aku tidak menduga dia akan menanyakan pertanyaan yang mengejutkanku.