21
Aku bisa mendengar langkah kaki berat mendekati pintu. Pada saat itu kami sedang menikmati makan siang kami di meja makan. Pak Sidik sedang duduk di samping Leo untuk menjaga Leo agar tidak sampai tersedak. Sementara aku sendiri duduk memakan telur sambil sesekali memegangi perut yang masih terasa perih. Untung saja luka tusuknya tidak terlalu dalam. Rencananya tadi hari ini aku sudah mesti pamit. Waktuku tidak banyak, tinggal tiga hari lagi untuk menyelamatkan anakku. Tadi malam saja, aku agak sulit memejamkan mata karena memikirkan rencana agar aku bisa sampai ke Malang besok sore.
Opsi paling memungkinkan yang ada di pikiranku adalah meminjam mobil colt tua itu. Aku lihat kemarin meteran bensinnya masih penuh, yang aku pikir cukup membawaku sampai ke Malang. Di sana aku akan mencari mesin ATM dan mengisi bahan bakar lagi untuk mengembalikan mobil ini lalu pulang menggandeng tangan anakku.
Ya semuanya terlihat indah dan sempurna di dalam benakku. Lagi-lagi pikiranku sudah memiliki setelannya sendiri yang membuatku tidak bisa keluar dari apa yang sudah dipatri di dalam diriku sejak kecil. Namun belum saja rencana itu terlaksana, gangguan sudah muncul dan kali ini tidak tanggung-tanggung. Dari suara langkah kakinya, aku sudah menduga ada emosi yang siap meledak. Apakah rencanaku akan gagal lagi?
Pak Sidik segera memintaku untuk segera bersembunyi di belakang. Aku langsung meninggalkan tempat dudukku dan lari sebelum Pak Sidik menghentikan langkahku dengan suara ’pssst’ dari mulutnya. Gestur tubuhnya menyuruhku untuk membawa serta piring dan gelas yang ada di meja sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. Betapa bodohnya aku tidak memikirkan hal itu!
Hanya ada satu tempat yang aku pikir paling aman untuk bersembunyi setelah menyusuri setiap pojokan di rumah ini. Mobil Colt tua! Mobil ini tidak pernah dijamah dalam waktu yang lama dan untuk apa pula dia memeriksa ke sini.
Terdengar suara pintu dibuka dengan tenaga yang luar biasa sehingga ada bunyi bedebum ketika pintu kayu jati itu betubrukan dengan door stopper.
”Siapa yang suruh bawa keluar Leo ke tempat umum?” Suara bas dengan volume yang keras membahana memenuhi seluruh isi rumah. Rupanya dari dalam mobil ini, aku masih bisa mendengar percakapan yang ada di dalam. Suara teriakan itu diikuti dengan suara tumpukan kertas yang dijatuhkan ke atas meja.
”Kamu ya, Sidik?”
Tidak ada respons dari Pak Sidik. Aku duga dia hanya diam dan menunduk. Aku jadi merasa bersalah sendiri karena sudah gegabah mengajak Leo ke pasar malam kemarin.
”Kan sudah saya bilang jangan perlihatkan Leo ke depan orang-orang. Saya ini lagi nyalon. Semua harus tampak sempurna supaya bisa terpilih. Udah keluar banyak uang lho saya! Kowe ngerti gak, Sidik?”
Keadaan hening sesaat.
”Anu pak, tapi kalau Leo dikurung terus di rumah kan juga gak baik untuk Leo, kasihan dia!”