22
Leo
Sebelum ayahku sempat menyemprotkan amarahnya ke siapapun yang dia temui di rumah ini, Pak Sidik sudah terlebih dahulu membawaku masuk ke dalam kamar. Dia menutup pintu kamarku rapat-rapat. Seperti biasanya, Pak Sidik selalu punya perhatian yang lebih kepadaku. Dia tidak ingin aku mendengar semua kekejaman yang akan keluar dari mulut orang yang seharusnya menjadi yang paling dekat denganku. Aku selalu menghargai kebaikannya sama seperti dia selalu menghargai keberadaanku. Dia bahkan pernah mengatakan kalau dia sudah menganggapku seperti putranya sendiri. Andai saja ayahku memperlakukanku sama hangatnya dengan perlakuan Pak Sidik terhadapku.
Pak Sidik punya seorang anak hasil pernikahannya dengan istri satu-satunya. Namun naas kebakaran terjadi dua puluh tahun silam yang membakar habis rumah Pak Sidik. Pada saat itu Pak Sidik tidak sedang berada di rumah. Menurut keterangan polisi, gas elpiji di rumahnya bocor dan memenuhi seisi ruangan sebelum ada percikan api yang muncul dari korek api saat istrinya hendak menyalakan lilin. Di jago merah dengan rakusnya melahap seluruh milik Pak Sidik sampai sehabis-habisnya, termasuk dengan keinginan hidupnya.
Selama beberapa tahun, Pak Sidik hidup tanpa arah. Seluruh gairahnya habis terlalap oleh api yang menghanguskan tidak hanya rumahnya tapi juga beberapa rumah tetangganya. Penderitaan Pak Sidik tidak selesai sampai di situ. Tetangga di kampungnya menjauhinya bahkan ada yang melabelinya sebagai pembunuh walaupun Pak Sidik tidak tahu-menahu soal kebakaran itu. Itulah yang akhirnya membuat Pak Sidik pergi dan pada akhirnya bekerja di tempatku hingga sekarang.
Meski Pak Sidik sudah berusaha yang terbaik, tetap saja suara-suara itu masih bisa aku dengar dengan jelas. Menembus celah-celah dinding. Suara itu bak menggedor-gedor permukaan dinding dan juga relung hatiku terdalam. Sampai sekarang aku masih tidak bisa mengerti kenapa kata-kata sekejam itu bisa keluar dari mulutnya.
Siapa yang ingin lahir dalam kondisi cacat? Kalau aku punya pilihan, aku tentu tidak mau lahir ke dunia dengan keterbatasan fisik yang aku miliki. Jangan keterbatasan fisik, bahkan imajinasi dan seluruh sikapku juga harus selalu dibatasi sampai aku merasa sesak. Rumah ini hanyalah sangkar emas yang membuaiku untuk tetap mau berada di dalamnya.
Aku sempat mengandaikan diriku memiliki sayap. Hampir setiap malam aku memimpikan diriku memiliki sayap yang lebar dan panjang. Betapa bahagianya diriku bisa terbang di antara gumpalan-gumpalan awan putih. Menari di antara burung-burung yang bermigrasi dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Aku juga membayangkan diriku mampu berenang di sungai yang aliran airnya begitu deras. Meliuk-liukkan tubuhku di antara bebatuan seperti ikan salmon. Menerjang arus yang keras dan menjadi digdaya karenanya.
Setiap kali aku menyaksikan anak-anak yang bermain dengan kedua kakinya yang utuh dan kuat, siapa yang tidak cemburu? Aku menangis karena kondisiku. Namun yang lebih memilukan aku menangis dalam kesendirian karena tidak ada satupun dari orang tuaku yang menghiburku. Bahkan ibuku saja, sudah terlebih dahulu meninggalkanku saat usiaku belum menginjak usia 3 tahun, Saat aroma putingnya saja masih belum lekang dari penciumanku.
Dan kalau kalian berpikir yang kurasakan tadi sudah cukup berat, kalian salah besar! Aku masih harus menanggung beban rasa bersalah karena harus membuat orang tuaku merasa malu akan keberadaanku. Setiap hari aku mengutuki diriku sendiri. Berharap aku tidak pernah lahir ke dunia ini. Kalau reinkarnasi itu ada, aku tidak akan memilih untuk terlahir di tubuh seperti ini.