23
Abi
Mobil tua versus jalanan berlubang, siapa yang akan menang? Itulah yang ada di dalam pikiranku ketika sedari tadi getaran yang dihasilkan oleh benturan besi dengan jalanan yang tidak rata membuat perutku mual. Aku bisa saja berhenti pada saat ini dan pulang seperti yang biasa aku lakukan ketika aku merasa mual atau sakit perut ketika mengajar. Aku akan langsung pulang dan tidak melanjutkan pekerjaan di rumah berikutnya. Aku tidak merasa punya cukup alasan untuk melanjutkan mengajar, apalagi jika murid yang hendak aku ajar setelahnya tidak sedang menghadapi ulangan atau tidak sedang memiliki pekerjaan rumah.
Tidak ada yang pernah membayangkan rasa sakit yang dihasilkan oleh perut yang melilit seperti diremas dan dipelintir layaknya baju yang sedang diperas sebelum dijemur. Belum lagi dengan perasaan mual serta tak nyaman yang dihasilkan oleh asam lambung yang terus bergejolak di dalam perut. Ketika rasa itu datang, hal yang terlintas di dalam benakku adalah minyak kayu putih dan meringkuk di atas kasur empuk ditambah dengan sedikit obat sampai rasa sakit itu memudar.
Namun hari ini semua berbeda. Di tengah perut yang bergejolak, yang aku pun tidak tahu apa yang bisa menyebabkannya jadi seperti ini, aku tetap berjalan dan tidak sedikit pun berhenti. Sebagian besar badan jalan yang berlubang besar dan berbatu tidak menjadi penghalang bagiku. Mesti terkadang aku berpikir mengapa jalanan seperti ini sengaja dibiarkan oleh pemerintah tanpa ada perbaikan.
Perpisahan dengan Leo tadi meninggalkan sebuah beban di hatiku. Harus kuakui, hari ini memang aku sudah menjadwalkan untuk berangkat, namun aku tidak pernah membayangkan harus dengan cara seperti tadi. Melihat dan mendegar sendiri perlakuan Pak Simon terhadap Leo mengingatkan akan perlakuan orang tua sendiri serta perlakuanku kepada Ganindra. Setiap anak memang ingin diterima, dan itulah kebutuhan terbesar yang aku lihat terpancar dari sorot mata Leo barusan.