26
”Mau ke mana, mas?” Tanya seorang supir truk yang kebetulan sedang bepergian sendiri.
Setelah lebih dari setengah jam menunggu di depan minimarket ini, ada juga akhirnya pemilik kendaraan yang bersedia untuk berhenti dan menanyakan tujuanku.
”Aku mau ke Malang, Pak!” Aku mengatakan itu tanpa rasa malu lagi. Uangku semua ludes karena harus membayar tunggakan pinjaman online beserta denda-dendanya. Hanya ada selembar merah di dalam dompetku yang pastinya tidak akan cukup untuk membayar tiket bus kelas ekonomi sekalipun.
”Waduh aku gak nyampai situ, mas. Saya cuman sampai Kudus.” Kata pengemudi truk dengan badan kurus dan rambut klimis sambil tersenyum tipis. Perawakannya jelas bertentangan dengan bayangan yang ada di kepalaku.
Tanpa pikir panjang, aku segera mengiyakan ajakannya. Daripada harus menunggu lebih lama. Sebagai seseorang yang memiliki trauma masa kecil yang dalam, aku terbiasa memiliki kontrol berlebih atas apapun, termasuk segala kesempatan yang datang. Aku akan menimbang-nimbang setiap kesempatan itu berdasarkan manfaat dan kerugiannya. Jikalau hal itu memberikan banyak manfaat, aku akan mengambilnya. Namun dari perjalanan ini, aku juga belajar untuk tidak terlalu perfeksionis dan menerima setiap kesempatan yang datang, walau itu jauh dari bayanganku sebelumnya.
Aku naik ke dalam kepala truk yang pijakannya lumayan tinggi. Aku duduk di jok yang beberapa lapisan kulitnya sudah mengelupas, memperlihatkan busa berwarna putih. Setidaknya ini lebih baik dari berdiri di depan minimarket tanpa kejelasan.
Sebisa mungkin aku mencoba untuk menyandarkan kepalaku di bagian kepala jok yang cukup empuk sambil berdoa kalau aku akan menemukan tumpangan lagi di Kudus, walau hari sudah semakin larut.
”Ada urusan apa di Malang, Mas?”
Sepertinya sang supir ingin menjadikanku teman bicaranya agar dia tidak mengantuk.
”Ah aku mau ketemu seseorang di sana, pak!”
”Ohh...”
”Maaf pak, saya Abi.” Aku mengajaknya bersalaman.
“Oh ya mas, saya Sanusi.”
Rasa kantuk yang tadinya menyelimuti diriku langsung sirna begitu saja. Mataku seperti mendapatkan energi baru untuk melek tanpa bantuan kafein. Kesempatan ini aku manfaatkan untuk melihat-lihat interior dari truk ini. Ada satu hal yang menarik perhatianku. Sebuah foto yang tergantung di kaca depan truk. Foto antara anak perempuan dan juga ayah.
”Istrinya ke mana, Pak?” Aku langsung spontan menanyakan.
Sekilas aku bisa melihat Pak Sanusi menelan ludahnya sendiri.
”Udah gak ada, mas.” Ada kegetiran yang bisa kurasakan di ujung kalimatnya.