Abi di Dalam Botol

Yoseph Setiawan Cahyadi
Chapter #27

Badan yang Remuk

27

Tidak ada yang bisa kutawarkan dari tubuh ini kepada orang lain. Hal yang menonjol dari tubuhku adalah benjol yang masih belum kempis benar selepas kejadian beberapa hari yang lalu. Tidak ada satupun barang yang pantas dijual, melekat di badanku. Hanya sebuah ponsel yang itupun sudah ketinggalan jaman yang aku sendiri tidak yakin akan laku untuk dijual. Yang tersisa dalam diriku ada tenaga dan tujuan yang jelas. Ya tenaga..

    Di Terminal Kudus ini, masih banyak bus yang masuk dan keluar membawa penumpang beserta barang bawaan mereka yang tidak sedikit. Sedari tadi aku mengamati beberapa ornag dengan sigap membantu orang-orang yang lebih tua untuk membawakan barang bawaan mereka. Tentu saja ada upah yang mereka terima dari kesediaan mereka membantu. Mana ada yang gratis di jaman sekarang.

    Malam ini, entah mengapa, suasana di sini masih terbilang ramai. Di kota yang seharusnya tidak terlalu besar, keadaan seperti ini bisa jadi sebuah anomali yang terjadi hanya satu kali dalam setahun. Dan kebetulan, hari itu adalah hari ini. Begitu banyak barang bawaan tergeletak di tanah karena orang-orang yang membawa mereka merasa kewalahan. Di situlah aku melihat peluangku untuk masuk. Seperti yang kukatakan yang tersisa dariku adalah tenaga dan tujuan yang memampukan diriku untuk berbuat apa saja demi mendapatkan tambahan uang sebesar lima puluh ribu rupiah agar aku bisa berangkat ke Malang di bus yang terakhir.

      Aku bergegas mengambil sekumpulan tas yang ada beberapa meter tepat di depan mataku. Tak lupa aku menyunggingkan senyuman, karena sebagai negara dengan penduduk yang paling ramah di dunia, senyuman adalah kunci untuk menaklukan hati orang lain.

    ”Sini bu, biar saya bawakan tasnya!”

     Ibu-ibu yang keringatnya sudah mengucur deras membasahi kening dan wajahnya, tanpa perlawanan menerima tawaranku. Tidak heran jika dia terlihat begitu lelahnya. Ada tiga tas yang aku jinjing di tangan kananku dan dua tas lagi di tangan kiriku. Kedua tanganku seperti menanggung beban yang maha berat seolah-olah beban yang aku alami selama beberapa hari ini tidaklah cukup. Beruntungnya perutku yang biasanya selalu berontak ketika tidak mendapatkan asupan tepat waktu atau ketika aku memiliki beban pikiran yang begitu banyak, tidak beraksi hari ini. Untuk sementara waktu, aku merasa aku mendapatkan kontrol lagi atas tubuhku.

    ”Jurusan mana ibu?”

    ”Jurusan Surabaya.”

   Dengan sigap aku berjalan tiga puluh meter untu membawakan tas-tas ibu itu dari pintu depan terminal hingga ke samping badan bus dengan tulisan Surabaya di kaca depannya. Di sana akan ada orang yang akan menata tas-tas tersebut untuk dimasukkan ke dalam garasi bus yang letaknya di antara kedua roda bus tersebut.

   Mataku sempat terkesiap ketika melihat beberapa orang sibuk memasukkan motor ke dalam badan bus yang sudah sesak itu. Bagaimana perasaan orang yang sudah duduk berjejalan di dalam bus tapi masih harus ditambah dengan keberadaan motor. Tidak jadi ikan pindang saja sudah bagus.

   Aku menggelengkan kepalaku. Rupanya motor tidak hanya bisa selap-selip di jalanan, tetapi juga bisa selap-selip di dalam bus.

Lihat selengkapnya