Abi di Dalam Botol

Yoseph Setiawan Cahyadi
Chapter #29

Gadis Bernama Hana

29

Sewaktu duduk di sekolah dasar, aku pernah mendengar penjelasan guruku tentang Tuhan dan manusia yang Dia ciptakan. Tuhan dikatakan menciptakan manusia seturut gambar dan rupanya. Pada saat itu dengan polosnya aku bertanya balik ke guru itu. ”Jika Tuhan menciptakan kita sesuai dengan rupanya, berarti Tuhan punya banyak sekali muka karena kita di sini memilki muka yang berbeda-beda.” Pertanyaan itu langsung mendapatkan cemoohan dari teman-temanku. Hampir semuanya tertawa.

Namun ada satu murid yang juga sama penasarannya denganku. Dia mengajukan pertanyaan tambahan. ”Kalau mukanya jelek, berarti muka Tuhan juga jelek donk, bu?” Tawa keras kembali membahana memenuhi ruangan kelas. Untungnya ibu guruku, bukanlah orang dengan sumbu pendek yang mudah marah ketika mendengar pertanyaan yang seolah-olah mengejek Tuhannya juga. Dia sadar akan posisinya sebagai guru dan dia juga sadar kalau kita masih kecil sehingga masih banyak hal yang tidak kupahami.

”Bukan berarti kalau Tuhan menciptakan manusia seturut gambar dan rupanya, Tuhan memiliki banyak wajah. Itu artinya pada dasarnya kita diciptakan sempurna seperti Tuhan. Kita punya kodrat yang mulia di mata Tuhan. Maksudnya adalah, kita ini sudah sempurna sejak awalnya namun seiring berjalannya waktu, setiap perbuatan yang kita lakukan menjauhkan kita dari kesempurnaan itu dan hal itulah yang dinamakan dosa.”

Pada saat itu aku tidak memahami apa yang dikatakan guruku. Aku tidak merasa diriku sempurna karena aku memang tidak pernah dianggap sempurna. Selalu saja ada kesalahan yang ditimpakan kepadaku, meski aku merasa aku tidak berbuat salah sama sekali. Semakin dewasa aku memiliki pemaknaan tersendiri mengenai ayat itu, terlebih setelah saya menjalani perjalanan selama lima hari ini. Bukan berarti pemaknaan guruku jadi salah. Pemaknaan itu tetap aku anggap sebagai sesuatu yang benar, hanya saja seiring berjalannya hidup, manusia bisa menciptakan pemahamannya sendiri atas apa yang telah dia alami.

Dasar pertanyaanku tetap sama. Jika Tuhan menciptakan manusia seturut gambar dan rupanya, berarti Dia memang memiliki banyak wajah. Dalam perjalananku aku menyadari kalau Tuhan memang ada di mana-mana. Dia memiliki banyak wajah yang tidak aku kenal, yang membantuku selama perjalanan. Dia datang melalui Pak Sidik dan Leo, dia datang melalui Ambar istriku yang jarang aku hargai keberadaannya, namun tetap memilih berada di sampingku. Dia datang melalui wajah anakku, melalui senyumannya yang imut yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga.

Walaupun dia tidak datang melalui ibuku, orang yang seharusnya menjadi orang yang terdekat denganku, dia tetap datang melalui orang lain. Ketidakhadiran Tuhan melalui sosok ibuku, tidak menjadikanNya sepenuhnya tiada. Dan satu lagi, dia datang melalui orang yang kini ada di depanku.

Namanya Hana, dia malu memperkenalkan dirinya kepadaku. Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu di balik poninya. Jika dilihat dari jauh, tidak ada sesuatu yang kurang dari dirinya. Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya yang lurus dan panjang tergerai dengan indah, kulitnya putih dan mulus seperti batu pualam.

Hal yang mungkin disayangkan oleh semua orang terletak di wajah sebelah kanannya, yang tertutupi oleh tanda lahir berwarna merah muda dari atas mata hingga ke pipi. Jika tanpa tanda lahir itu, kami dan mungkin dirinya sendiri akan mengganggap dirinya sempurna. Terlalu sempurna untuk menjadi nyata.

Aku kembali memikirkan kata-kata guruku mengenai Tuhan dan ciptaannya. Ada pemaknaan baru yang muncul. Jika Tuhan begitu sempurna, kenapa dia menciptakan segala sesuatu dengan tidak sempurna? Apakah pandangan manusia tentang kesempurnaan itu salah?

”Bapak mau makan apa? Tenang saja, saya yang traktir!” Senyum yang manis tersungging di wajahnya yang cantik ada atau tanpa luka.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Rupanya hampir tiga jam aku tidak sadarkan diri di puskesmas akibat peristiwa di terminal.

”Apa saja, asal tidak pedas dan tidak asam.”

 Dia pun berdiri dan memilihkan makanan untukku. Karena bujuk rayunya yang beralasan kuat, aku setuju mengikutinya ke pusat jajanan malam hari di kota Kudus ini. Asalkan tidak di rumah sakit. Aku mengakui argumen yang dia lontarkan benar adanya. Di jam segini, sudah tidak ada bus yang beroperasi. Akan ada sedikit sekali truk yang lewat apalagi yang membiarkanku menumpang. Karena perutku tadi sempat berbunyi di depannya, dia lalu mengajakku ke sini.

  Aku bisa melihat bapak-bapak penjaga kios makanan melayaninya dengan ramah. Aku menduga dia terpikat dengan wajah cantiknya. Dia meminta bapak itu untuk menaruh beberapa lauk di piring itu. Dan ketika dia kembali, di depanku sudah ada satu piring penuh dengan lauk.

    ”Nasinya ke mana?”

   Dia lalu mengambil sendok dan meminggirkan lauk-lauk itu sampai nasinya kelihatan. Tanpa sengaja dia menjatuhkan kacamata hitamnya ke atas lauk yang ada di piringku. Kacamata itu langsung kotor karena terkena air santan. Aku buru-buru mengambilnya dan membersihkannya.

     ”Sebentar saya ambil makananku dulu.”

Lihat selengkapnya