30
Kami menaiki taksi online yang untungnya masih beroperasi di malam hari. Jarak antara pusat jajanan dengan rumah Hana tidak begitu jauh. Setelah lima belas menit, kami sampai di sebuah jalan kecil. Mobil berhenti tepat di pertigaan jalanan yang belum sepenuhnya diaspal.
”Di sini saja pak, biar kami masuk sendiri.”
Hana membantuku untuk keluar dari mobil. Rasa sakit yang paling dominan masih berada di perutku yang kembali terbuka lukanya. Dia juga hendak memapahku berjalan memasuki sebuah gang kecil yang tidak bisa dilalui oleh mobil.
”Mari pak, saya bantu!”
Aku memberikan tanganku memberitahunya kalau aku bisa melakukannya sendiri walaupun harus tertatih-tatih.
”Terima kasih atas makan malamnya.. eh makan dini harinya..”
Hana tersenyum tipis, namun senyumnya langsung sirna.
”Ya pak. Sekali lagi....”
”Kalau si pencopet itu tidak meninggalkan tas di situ dan aku tidak membawanya, kita juga tidak akan bertemu, kan?”
Hana mengangguk.
”Melihatmu seperti itu, sama seperti melihat diriku sendiri.”
Dia menolehkan wajahnya dan memperhatikan wajahku dengan lekang.
”Aku tidak menemukan cinta dari ibu dan ayahku. Ibuku selalu marah karena trauma besar yang dia miliki dan selalu memukul aku, walaupun aku tidak salah. Ayahku tidak punya kekuatan apa-apa untuk bisa melawannya.”
Dia menghela nafasnya seolah ikut merasakan apa yang aku rasakan.
”Oleh karenanya aku selalu merasa tidak enak dengan orang lain. Selalu bilang maaf. Selalu ingin menyenangkan hati orang lain.”
Aku melihat Hana terdiam sesaat.
”Ayah saya tidak pernah menganggap saya ada. Dia... Dia sebenarnya sudah punya keluarga dan istri. Tapi dia jatuh cinta dengan ibu saya. Kehadiran saya di dunia ini, dia anggap sebagai kecelakaan yang tak pernah dia harapkan. Apalagi ketika melihat wajah saya yang seperti ini...”
Aku menepuk pundaknya untuk memberinya kekuatan.
”Dia menganggap saya penghalang untuk bisa dekat kembali dengan ibu. Sejak saat itu dia pergi. Dia gak pernah ada di hidup saya. Dan saya bisa mengerti hal itu..”
Aku bisa melihat air mata sedikit membasahi pipinya. Aku hanya bisa tertunduk. Mendengarkan kalimatnya sekali lagi membangkitkan rasa bersalah di dalam hatiku. Perlakuanku kepada anakku tidak lebih baik dari perlakuan ayah Hana kepadanya.
”Maaf ya pak jadi harus berjalan jauh. Gang ini memang agak panjang.”
”Justru aku yang harusnya minta maaf karena jadi lama jalannya.”
”Kok kita maaf-maafan terus ya pak, padahal belum Lebaran.”