Abi
Pagi itu aku bangun terlambat. Badan yang sudah luluh lantak dimakan oleh terpaan gelombang serta jatuh bangun kehidupan, seperti merongrong meminta hak-hak mereka untuk dipenuhi. Hak untuk tidur lebih panjang dan tentu saja lebih dalam. Alhasil ketika aku bangun di pagi itu, badanku seakan memberontak. Begitu beratnya diriku untuk bahkan mengangkat kedua lengan dan kakiku. Begitu sulitnya aku untuk kembali ke posisi duduk sehingga aku harus tidur menyamping terlebih dahulu dan mendorong tubuhku ke posisi vertikal dengan bantuan kedua tanganku.
Ada teh yang masih hangat tersaji tepat di depanku. Teh itu masih panas karena masih mengeluarkan uap-uap panas yang langsung terkondensasi oleh udara yang lebih dingin di sekitarnya. Sungguh menggoda. Namun yang membuatku terkejut adalah sebuah kertas yang terlipat persis di samping cangkir teh hangat itu.
Aku membuka lipatan kertas itu secara perlahan dan membacanya dengan seksama. Sebuah tiket travel, lebih tepatnya bukti yang perlu ditunjukkan kepada pengemudi mobil travel yang akan menjemputku dalam waktu setengah jam lagi.
Dari belakang suara langkah kaki Hana terdengar diiringi dengan suara putaran roda yang beradu dengan besi tipis yang menghasilkan suara mendesis. Rupanya Hana sedang mendorong ibunya, yang duduk di kursi roda untuk menemuiku. Jelas aku merasa sangat tidak enak, karena harusnya aku yang menemui ibu Hana.
”Maaf bu, aku numpang nginap di sini semalaman.” Kataku sambil merapihkan bajuku yang kusut dan kumal yang membuat diriku sendiri malu.
”Ya, nak Abi. Hana udah cerita semalam. Katanya Mas Abi itu hebat. Seorang ayah yang yang luar biasa.”
Wajahku langsung tertunduk begitu malu.
”Mas Abi silahkan dihabiskan tehnya. Saya sudah siapkan sarapan untuk bapak.”
Sepertinya Hana melihat gelagatku yang tidak biasa sehingga dia berusaha mengalihkan pembicaraan ibunya.
”Masih panas, mbak.”
”Baik. Saya ambilkan sarapan dulu ya di dapur. Ibu tunggu di sini.” Dia langsung berjalan ke dapur setelah memosisikan kursi roda ibunya tepat di depan televisi yang terletak tepat di tengah ruang tamu. Tidak lupa dia mengunci kedua roda di kursi roda itu.
Ada rasa tidak enak yang sedang berkecamuk di dalam hatiku. Perasaan tidak pantas menerima kebaikan dari Hana. Namun di sisi lain, aku menyadari kalau Hana masih menyimpan perasaan bersalah atas apa yang terjadi kemarin. Aku memutuskan untuk mendekati Hana sampai di pintu dapur.
”Mbak Hana, tidak perlu seperti ini...”
Dia melirik ke arahku sebentar dan kemudian tersenyum.
”Itu bukan dari saya pak.”
Aku mengerutkan kening dalam kebingungan.
”Itu dari ibu.”
Aku melirik ke arah ibu Hana yang kini sedang memandangku sambil tersenyum.
”Ayah sekuat apapun pasti butuh bantuan. Dia tidak bisa berjuang sendiri.”
Hana kembali tersenyum kepadaku dengan lebar sambil menuangkan bubur dari dalam panci ke sebuah mangkuk yang sudah dialasi dengan piring.