Abi di Dalam Botol

Yoseph Setiawan Cahyadi
Chapter #34

Yang Hilang

34

        Butuh waktu dua jam untuk menjelaskan semua hal yang baru saja terjadi kepada Pak Roeslan dan juga Dodi, pemuda yang ternyata bisu karena kecelakaan sewaktu kecil. Itupun Pak Roeslan masih belum bisa memahami secara utuh. Aku tahu kejadian yang aku alami terkesan tidak masuk akal, sehingga akupun tidak berharap kalau orang lain akan memahami situasiku.

        Kejutannya adalah, Pak Roeslan menawarkan mobilnya untuk mengantarku ke Desa Gadang, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Gadang saja karena sudah beralih menjadi sebuah kelurahan. Namun karena waktu sudah sore dan memang secara kebiasaan tidak pas untuk bertamu pada malam hari, aku diyakinkan untuk melanjutkan perjalanan besok di hari terakhir. Karena tidak punya pilihan, akupun manut.

           Di malam harinya aku baru tahu kalau rumah Pak Roeslan sudah sepuluh tahun lebih dijadikan tempat penampungan anak jalanan. Pak Roeslan secara rutin memeriksa kolong jembatan untuk menawarkan pendidikan sekaligus rumah bagi mereka. Tentu saja, awalnya mereka tidak mau. Mendapatkan pundi-pundi uang dari mengemis dan mengamen membuat mereka merasa tidak membutuhkan pengajaran lagi. Namun karena kegigihan beliau, anak-anak itu pada akhirnya mau juga untuk dibujuk dan pada akhirnya menetap di rumah Pak Roeslan.

       Pak Roeslan memasukkan mereka ke sekolah-sekolah negeri dengan beasiswa pemerintah. Dia punya harapan besar untuk memanusiakan anak-anak yang bisa dibilang terbuang ini. Di jalan, mereka tidak mendapatkan hak-hak mereka. Mereka justru diperas oleh para cukong untuk mencari uang. Dengan menyelamatkan anak-anak ini dari tangan cukong, Pak Roeslan punya harapan besar agar anak-anak ini kelak bisa mandiri dan mendapatkan penghidupan yang layak.

           Kalau soal ancaman, Pak Roeslan sudah kenyang. Setiap sebulan sekali rumahnya akan didatangi oleh anak buah dari cukong tadi. Namun karena Pak Roeslan punya teman yang bekerja di kepolisian, potensi ancaman yang dia terima berhasil diminimalisir.

        ”Yang penting anak-anak ini bisa tenang dalam menata hidup mereka kembali.” Pungkas Pak Roeslan.

           Dodi dan Ahmad, pemuda satu lagi yang aku temui di pos ronda tadi sore sudah lulus pendidikan kejuruan dan bekerja di sebuah bengkel. Waktu selepas kerja mereka isi untuk berjaga di pos ronda sambil bermain musik.

           Keesokan harinya dua pemuda ini jugalah yang mengantarku ke Gadang.

           ”Perjalanannya sekitar satu jam.” Kata Ahmad.

        Ketika aku masuk ke dalam mobil minibus Pak Roeslan, Dodi, yang duduk di balik kemudi, menyunggingkan senyuman tipis yang membuat seluruh wajahnya menjadi manis dilihat. Semua orang yang memiliki wajah yang murung pasti akan seperti itu. Hanya dengan sekali senyum, raut wajah mereka akan berubah secara keseluruhan.

           ”Terima kasih untuk senyuman dan sambutannya.” Kataku singkat.

       Aku balik tersenyum kepadanya, namun senyum itu bukan senyum yang natural. Senyum itu aku paksakan karena aku tidak ingin membuat hari mereka menjadi suram. Jika boleh jujur, kejadian kemarin masih sangat membekas di dalam kepalaku. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan keadaan anakku. Aku tempatkan dia di sebuah liontin yang terpasang di seutas kalung tali.

    Segala kemungkinan berbondong-bondong mampir dalam kepalaku termasuk kemungkinan terburuk kalau aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada anakku untuk selamanya. Ketika hal itu benar terjadi, aku tidak bisa membayangkan kesedihan yang akan dialami oleh Ambar.

Lihat selengkapnya