35
Gambaran seorang pangeran yang berusaha menyelamat seorang putri yang terkurung di dalam sebuah menara sudah sangat lekang di dalam benak semua orang. Seorang pangeran atau bisa juga seorang ksatria yang gagah perkasa yang berhasil menaklukan naga sebelum bisa menjemput sang putri turun dari menara. Penggambaran ini sudah menjadi sesuatu yang ideal di dalam masyarakat dan menjadi sebuah credo tersendiri.
Namun bagiku, penggambaran itu tidak sepenuhnya tepat. Setiap orang pasti dan mungkin pernah terkurung di dalam suatu situasi dan yang menolong bisa berwujud siapapun juga. Tidak harus orang dari jenis kelamin yang berbeda tapi tidak juga harus pria yang menolong wanita. Kejadian yang aku alami, bertolak belakang. Ambarlah yang menjemputku dalam kesendirianku setelah aku pun berusaha dan tidak diam saja seperti putri yang duduk manis di atas menara.
Pertemuan di depan pasar Gadang bukanlah pertemuan yang ideal. Lagi-lagi tidak seperti penggambaran yang marak kita temui di media-media. Meski begitu esensi pertemuan di antara kami tidak serta merta menghilang. Dua manusia yang merindu terpisah oleh jarak yang kelihatan dan yang tak kelihatan.
Dua manusia yang hidup dalam kotak masing-masing. Begitu kata Ambar setelah mengusap air mata yang membasahi pipiku.
Aku memeluknya erat sekali lagi sambil membisikkan kata maaf yang berulang.
”Maafkan aku!”
”Maafkan aku juga, mas.”