Abi di Dalam Botol

Yoseph Setiawan Cahyadi
Chapter #36

Surat Perpisahan

36

Untuk kau yang ditakdirkan untuk membaca surat ini,

       Namaku Anjani. Aku adalah seorang perempuan. Perempuan yang dihinakan oleh jaman. Perempuan yang dikekang dan diberangus hak-haknya. Aku seperti ilalang yang bisa tumbuh di mana saja bahkan di tempat yang paling kering sekalipun. Aku berjuang untuk hidup namun begitu banyak orang menganggapku seperti penganggu yang harus dimusnahkan dengan segera.

      Aku lahir dalam keluarga yang cukup pada masa itu. Kemerdekaan yang kami rasakan pada waktu itu belum sepenuh merasuk ke dalam diri bapakku. Jiwanya masih terkekang oleh semangat feodalisme peninggalan Londo penjajah. Baginya perempuan masih sebatas pelengkap dalam rumah tangga. Sebuah badan tanpa jiwa yang hanya bisa disuruh-suruh secara semena-mena. Yang hanya boleh tinggal di rumah, atau lebih tepatnya dapur.

     Namun jiwaku tidak bahagia di sana. Sama seperti jemariku yang lenih gemuk dan lebih pendek dari teman-temanku yang lain, aku merasa tempatku bukan di dapur. Membaca surat kabar adalah keseharianku meski aku harus colong-colongan di balik orang tuaku. Aku suka dengan pengetahuan. Aku terkesima dengan dunia luar, tidak hanya jeruji penjara yang menyamar menjadi dapur.

   Di usiaku yang menginjak 17 tahun, aku sudah aktif terlibat di sebuah organisasi perempuan, Gerwani. Aku berperan mengurusi pembukuan pada kala itu. Kepandaianku menghitung sudah tidak perlu diragukan lagi. Di sana aku menemukan tempatku sebagai manusia yang utuh. Ya, setahun sebelumnya aku memutuskan untuk kabur dari jerat ayahku dan pindah ke Jakarta.

      Sebagai representasi dari wanita dan sebagai seseorang yang punya kesempatan untuk bisa menikmati pendidikan, kami merasa perlu untuk bersuara. Hak-hak perempuan, yang seringkali dianaktirikan adalah dasar dari perjuangan kami saat itu. Namun banyak pihak yang tidak suka, mengingat kedekatan kami juga dengan kelompok Komunis pada saat itu.

       Segala bentuk propaganda politik kemudian ditujukan kepada kami untuk mengaburkan semangat yang kami bawa. Puncaknya di awal Oktober 1965, di mana kami digelandang oleh militer ke suatu tempat. Ditelanjangi dan dipemalukan di depan laki-laki yang menontoni tubuh kami dengan syahwat mereka. Pada saat itu kematian terasa sebagai sebuah kemewahan daripada menanggung malu.

Lihat selengkapnya