39
2024 (Satu tahun kemudian)
Kami sudah berdiri di depan sebuah pagar rumah yang baru saja dicat kuning muda. Bau cat yang pekat masih menusuk di hidungku. Aku goyangkan gembok kecil itu ke pagar menghasilkan bunyi nyaring yang memekakkan telinga.
Kulihat anakku mulai gelisah. Ganindra tidak pernah suka bunyi-bunyi yang terlalu keras. Semua inderanya gampang terstimulasi oleh rangsangan-rangsangan dari luar. Jika rangsangan itu terlalu kuat, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindarinya.
Terdengar suara gaduh di dalam yang diikuti dengan suara ’klik’ dua kali ketika kunci pintu dibuka. Sesosok wajah dengan tanda lahir menutupi sebagian wajahnya menyambut kedatanganku. Matanya sedikit menyipit untuk memastikan siapa yang sedang berdiri di depan pintu.
”Pak Abi?” Tanyanya ragu.
”Masih aja manggil, pak!”
Senyuman lebar menghiasi wajahnya. Dia setengah berlari mendekati pagar dan membuka rumahnya untuk kedatangan kami.
”Sudah setahun ya sejak kita terakhir ketemu.” Aku menyapanya.
Tak kusangka Hana begitu impulsif dan langsung memelukku di depan Ambar yang sedari tadi memandangi kami.
”Oh maaf.” Hana menutup mulutnya malu.