41
Berdiri di hadapan ratusan mata penonton yang memandangimu benar-benar membuat jantungmu melompat-lompat. Rasanya sungguh tidak keruan. Namun kali ini semua berbeda, ketika aku pertama kali masuk ke atas panggung, suara tawa sudah menyambutku. Karena mereka melihat pakaian dan dandananku yang tidak ortodox, suasana yang tadinya serius, mendadak jadi lebih santai dan ceria,
Pandangan-pandangan mata menyelidik langsung hilang dengan sendirinya. Mereka kini seperti menanti-nanti atraksi apa yang aku akan buat di atas panggung.
”Apa jadinya hidup ketika kita memiliki anak berkebutuhan khusus?...”
Aku memulai presentasiku tanpa mengucapkan perkenalan yang biasa-biasa saja.
”Semuanya akan seperti sirkus. Jungkir balik. Hidup dipenuhi ketidak pastian."
Perlahan mata penonton kehilangan antusiasmenya.
”Inilah yang dialami oleh karakter utama di ceritaku. Namanya Joni, lelaki muda yang hidup dalam masyarakat non-inklusif. Hidupnya sulit. Pendidikannya yang tidak tinggi turut menjadi faktor penentu kekacauan yang dia alami. Dia memiliki anak dengan autisme dan kini dia terhimpit di antara dualisme memperjuangkan kesehatan ayahnya yang sudah tua atau mempejuangkan hak anaknya.”