43
EPILOG
Sudah setahun belakangan aku selalu menyempatkan waktu soreku untuk bermain dengan anakku di taman. Apalagi ketika tidak ada kesibukkan mengajar. Bagiku ini adalah caraku untuk berdamai dan menebus kesalahan yang telah lampau.
Ketika dulu aku harus menyembunyikannya dan tidak membiarkan Ganindra keluar untuk menghirup udara segar. Kali ini dengan senang hati aku membiarkannya. Aku melihatnya begitu girang ketika sepatunya dilepas dan kakinya dibiarkan menginjak-injak tumpukan tanah yang ada di taman.
Ekspektasi yang dulu membebani pundaknya, kini sudah menghilang. Senang sekali rasanya melihat anak ini bergerak bebas di taman. Melakukan gerakan apapun yang dia suka tanpa ada satupun orang yang melarangnya. Perilaku berulang yang menjadi ciri khas anak dengan autsme sejatinya adalah sebuah mekanisme kontrol emosi. Ketika manusia normal melampiaskan emosi dengan kata-kata, anak-anak spesial seperti Ganindra akan mengekspresikannya dengan gerakan. Melarangnya bergerak sama saja melarangnya berekspresi dan ini yang akan menghambat pertumbuhannya.
Sore ini suasananya jauh lebih muram dari biasanya. Matahari hendak meninggalkan tahtanya di atas langit. Kegelapan sudah turun ke permukaan bumi ketika waktu belum menunjukkan pukul setengah enam sore. Angin yang berhembus kencang memberikan pertanda kalau hujan akan segera turun.
Dengan berat hati, aku harus meminta Ganindra untuk menyudahi permainannya lebih awal. Dia pun tidak keberatan dan ketika kami hendak berdiri dari posisi kami sekarang, seorang gadis muda mengenakan blazer kerja datang ke taman dengan kepala tertunduk. Dia mengambil tempat duduk di seberang kami dengan jarak sekitar dua puluh meter.
Aku melihat gelagat yang kurang mengenakkan darinya. Dia sengaja memilih kursi yang paling pojok dan duduk sedikit menyamping. Ada isakan terdengar dari kejauhan karena angin yang kencang membantu menyampaikan suaranya. Dan tanpa aku sadari sesuatu muncul atau menymebul dari kantung celana trainingku. Aku merogoh dalam-dalam kantung itu dan menemkan botol mini itu.
Botol yang sudah setahun menghilang, tiba-tiba kembali ke kantungku. Aku menduga ini ada kaitannya dengan gadis di seberang sana. Dengan mengumpulkan keberanian, aku berjalan mendekatinya sambil menggandeng tangan Ganindra.
Untungnya Ganindra cukup nurut dan tidak memberikan perlawanan berarti seperti biasanya.
Aku membuka obrolan di antara kami dengan cara yang sangat klise. Memberikan sebuah sapu tangan kepadanya.
Dengan cekatan dia buru-buru menyeka air mata yang membasahi pipinya. Dia bahkan langsung bangkit berdiri dan hendak meninggalkan kami.
”Maaf, saya harus segera pergi!”
”Tunggu, mbak. Saya bukan...”
Dia terus berlalu meninggalkan kami berdua.
”...bermaksud untuk jahat.” Aku menyelesaikan kalimatku yang sempat terpotong dan rupanya dia mendengarnya bahkan setelah melangkah beberapa meter dari kami.
Dia langsung menoleh dan memperhatikan gerak-gerik Ganindra yang sedikit spesial sehingga langkahnya pun langsung terhenti. Setelah melihat Ganindra, pasti dia tidak akan menganggapku sebagai penjahat lagi.
Deng an perlahan dia kembali mendekat dan memberi Ganindra permen yang dia simpan dari dalam tas bermerknya.
”Ini ada permen buat dede.”