Hari ini Umi kembali mengamuk. Padahal beberapa hari ini dia bersikap tenang. Aku tidak tahu apa yang membuat Umi begitu, tetapi kata pembantu di rumahku, Umi mengamuk karena melihat foto Abi di laci lemari hias.
Aku menepuk dahi. Foto itu sengaja kutaruh di sana karena takut Umi melihatnya. Sekarang foto itu sudah didapatkan Umi. Dan beginilah, aku harus menenangkan Umi dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur'an. Karena biasanya Umi akan menyahuti ayat itu dan melanjutkannya.
"Qul a'uudzu birabbin-naas," ucapku memulai Surah An-Naas. Umi perlahan diam dan menatapku. Dia seakan berpikir. Aku melanjutkan ayat berikutnya.
"Malikin-naas," Aku kembali menatap wajah Umi yang masih berpikir. Mungkin dia lupa Surah ini, seperti surah-surah lainnya. "Ilahin-naas."
"Ilahin-naas," kata Umi mengulang ayat yang kubacakan. Aku tersenyum dan membawanya duduk di kursi meja makan.
"Min syarril waswaasil khan-naas, Al-ladzii yuwaswisu fii shuduurin-naas, Minal jinnati wan-naas." Kami mengucapkan ayat-ayat itu dengan serempak. Umi tersenyum, aku memeluk tubuhnya hangat.
Sudah dua puluh enam tahun Umi begini. Dulu sewaktu aku kecil, Umi tidak terlalu seperti ini, tetapi gejala depresi memang sudah muncul saat Umi melahirkan aku.
Sejak kecil pula aku diurus oleh pembantu di rumah. Sekarang aku mengurus Umi, segala keperluannya. Umi masih bisa berpikir dengan akal, tetapi dia sering tantrum. Kelemahannya hanya itu. Setelahnya dia masih bisa melakukan segalanya, salat lima waktu maupun sunah, membaca ayat Al-Qur'an jika dia ingat, menasihatiku saat hendak bekerja, dan lainnya.
Di rumah ini ada peraturan yang tidak boleh dilanggar, aku yang membuat itu. Tidak ada barang apa pun yang menyangkut Abi, termasuk foto dan pakaiannya. Semua barang-barang Abi sudah kumasukan dalam kotak yang kutaruh di kamar Umi dan Abi dulu, dan beberapa masih disimpan di laci lemari. Sekarang Umi tidur di kamarku, kamar depan dekat pintu masuk rumah.
Kalau barang-barang itu terlihat Umi, beginilah jadinya, dia akan mengamuk dengan menangis. Lalu menyalahkan keadaan yang menjauhkannya dari Abi. Dia juga membenci Abi di setiap ucapannya, tetapi aku tahu Umi sangat mencintai Abi. Dia hanya kecewa kenapa Abi pergi.
"Zoya," panggil Umi saat aku melamunkan semua yang terjadi selama ini. Aku menoleh dan tersenyum, Umi menunjuk luar rumah.
Aku sengaja menanami banyak bunga warna-warni di halaman kecil rumah, itu supaya Umi memiliki aktivitas. Jika dia banyak kegiatan, itu bisa meminimalisasi depresinya kumat. Aku tidak ingin mengungkit apa pun mengenai Abi, aku tidak ingin menyakiti Umi, walau aku ingin tahu sosok Abi selain dari foto yang selalu kulihat ketika hendak tidur.
Aku membawa Umi keluar rumah, lalu memberikan slang air agar ia menyiraminya.
Aku duduk di kursi plastik dekat sana, kudengar Umi mulai menyanyikan selawat Nabi berulang-ulang sambil menyiram bunga-bunga di depannya.