About Die

Ael
Chapter #4

3. Tigo

"Kalian udah pada pernah nanjak, kan?"

"Gue belum pernah! Mana tau kalo disuruh ngelakuin hobi, gue cuma nyontek punya Lilis!"

"Lalu bagaimana? Kamu pengen ikut nggak, Rin?"

"Pengen! Mau foto-foto!"

"Kalo gitu——"

Berisik sekali, orang-orang ini menganggu waktu tidurku di kelas. Aku bahkan tak sadar tertidur karena merasa bosan tidak melakukan apapun. Kuangkat kepalaku lalu menatap sekitar.

Fajar, Luis, Gadis, Karin, dan Faisal tengah berdebat soal hobi. Refan duduk di sebelahku, memainkan hp dengan raut datar. Entah apa yang tengah dia lihat, tapi aku lebih tertarik pada obrolan kelima manusia itu.

"Kita bawa aja tenda 3, yang cewek setenda, sedangkan kami yang cowok 2 tenda. Deal nggak, nih?" tanya Faisal menyarankan.

"2 aja, setenda aja bisa menampung 4 orang lebih, kalo nggak lasak, sih," balas Luis serius.

"Lasak?" Fajar mengerutkan kening.

"Iyo, tidurnya yang grusuk-grusuk, nggak bisa tenang. Lo pada tidurnya anteng, kan?" tanya Luis pada Faisal, Fajar, dan Refan.

"Aman!"

"Ya udah, 2 tenda aja, makin banyak barang, makin berat." Luis mengambil kertas, lalu menulis barang yang akan dibawa.

Aku bertopang dagu, diskusi mereka sangat ringan. Luis memimpin diskusi itu dengan tenang. Menyarankan ini dan itu agar pendakian nanti terasa mudah. Walaupun akan ada banyak tanjakan nanti, tapi tidak masalah, rata-rata tim baru ini sudah pernah nanjak gunung, kecuali Karin.

"Trus gue harus bawa apa dong?" tanya Karin panik.

"Bawa badan," celetuk Faisal ringan yang dibalas pelototan Karin.

"Bawa jaket, perlengkapan gunung, sepatu wajib." Luis kembali menulis dengan tenang. "Kita belum bagi siapa aja di tim ini menempati posisi. Ada Navigator, Leader, Sweeper, Logistik, Chef, dan Follower. Gue posisi Leader."

"Oke, kami setuju."

Bagaimana tidak setuju, Luis orang berpengalaman yang nanjak gunung, jiwa kepemimpinannya tak perlu diremehkan. Bahkan, sesuai arahannya tadi saja sudah membuat mereka yakin kalau Luis cocok jadi Leader.

"Jadi, kapan berangkat dan gunung apa yang didaki?" Refan membuka suara, menyimpan hpnya di atas meja.

Kami semua terdiam, melupakan poin penting sebelum pergi mendaki gunung. Kalau mau mendaki, harus ada gunung untuk didaki.

Aku mengangkat tangan. "Mending sekarang kita jujur aja soal nanjak nanti, siapa aja yang berpengalaman, pernah jadi apa pas pendakian, trus yang paling hapal jalannya siapa."

Lihat selengkapnya