About Die

Ael
Chapter #6

5. Limo

1 Desember 2023.

Meja bundar menjadi tempat strategis untuk diskusi panjang soal pendakian kami. Semua ekspresi terlihat serius, berpangku tangan dengan segala harapan yang tinggal seujung jari. Kuperhatikan mereka satu persatu, raut mereka jauh dari kata baik-baik saja.

Luis yang biasanya tenang dan penuh ide, mendadak menjadi bisu. Refan bergerak gelisah, memperhatikan sekitar dan berhenti setelah menatapku lama.

"Huwaa! Gimana dong?" Karin menelungkup kepalanya di meja, bersedih di sana.

"Padahal ini pendakian perdana gue, langsung nggak dibolehin sama bokap. Gue pengen nangis!" Karin merengek, meneriakkan segala kefrustasiannya.

"Tinggal nangis, ribet bener," cibir Faisal.

Akhirnya, Karin menumpahkan air matanya begitu saja. Faisal mengatup bibir, merasa bersalah menyuruh Karin nangis beneran. Cowok itu menepuk kepala Karin lembut dan meminta maaf.

Tidak hanya mereka berdua saja yang kalut, kami pun kalut. Selain karena hobi ini sebagai tugas BK, ini pertama kalinya kami mendaki bersama teman satu kelas. Biasanya kami berbeda kelompok, entah orang asing atau tim pendakian senior.

Ada perasaan yang tidak bisa diucapkan ketika bersama teman sekelas.

Luis menelan salivanya susah payah, terpikir olehnya sepintas ide yang amat nekat. Netra hitam itu bergetar, meyakinkan diri dengan resiko yang akan dia ambil. Kurasa aku mengerti kegelisahan Luis yang tak begitu terlihat.

"Masih tanggal 1." Luis berbicara dengan nada tercekat. "Agenda kita dimulai besok, gue punya ide yang nekat, mau dengar?"

Faisal dan Fajar saling memandang, lalu bertatapan dengan kami para cewek. Mereka memberi kode untuk mengangguk, walaupun saling memberi keraguan.

"Kita coba dengar dulu, ini demi nilai BK, kan?" sahut Refan tenang. "Ah, nggak. Ini demi kebersamaan."

Luis menahan napas, lalu dihembuskan dengan gelisah. "Ide gue ... berkaitan dengan kebohongan. Kalau kalian masih pengen nanjak, diam-diam besok bawa semua perlengkapan mendaki ke sekolah. Nanti, seragam kita ganti dengan baju santai dan tinggalkan di ruang OSIS. Kunci OSIS masih lo pegang, kan, Refan?"

Refan tersentak, dia lantas mengangguk. Walaupun cowok itu sangat pendiam, dia adalah Ketua OSIS di sekolah. Wibawanya tertutup karena keterdiamannya itu, dia tidak dingin, hanya saja membatasi kata dalam sehari.

Refan berbicara tak lebih dari 30 kata.

"Itu ... ide bagus!" Faisal menggebrak meja senang. "Bokap nyokap gue nggak ada di rumah dalam minggu ini. Gue setuju sama ide nakal lo, Luis!"

"Yang lain?"

Kami saling bertatapan. "Yah, sesekali berbuat nakal di masa remaja juga nggak buruk, ya, kan?" ucapku meyakinkan mereka semua.

Lihat selengkapnya