Aku terbatuk-batuk.
Rasanya ingin pingsan, tapi mereka bertiga mencegahku pingsan, mereka selalu mengatakan agar tetap membuka mataku. Tubuhku lemas, rasanya dingin, aku mengantuk.
Refan dan Luis mencari kayu dan membakar kayu itu menjadi api unggun. Luis merebus air dan sesekali mengecek keadaanku. Bantal air yang Gadis berikan sudah tak berfungsi lagi, airnya sudah dingin.
"Lis, jangan tidur," tegur Gadis sedikit panik.
Saat mereka tahu aku diserang hipotermia, Refan yang paling pertama bereaksi. Dia menyuruh Gadis membuka jaketku yang basah karena keringat. Aku memakai 3 lapis baju ditambah jaket. Gadis bahkan tambah panik karena semua bajuku basah.
"Lepas baju lo, Lis," ucap Luis panik bukan main, dia mengambil selimut emergency di tasnya.
"Gue lemes banget ... nggak bisa lepas, sesek," ucapku tercekat, bernapas pun sulit rasanya.
Tanpa aba-aba, Refan mendekat ke arahku, menatapku dengan penuh keraguan, tapi dia kemudian menggelengkan kepala dengan cepat.
"Maaf," gumam Refan.
Kutatap Refan dari bawah, aku bersandar pada Gadis, tenaga saja tidak ada untuk duduk. Tubuhku terjatuh tadi setelah Gadis memegang bahuku. Refan menatapku dan Gadis secara bergantian, lalu melirik Luis dengan tatapan sangat serius.
"Maafin gue, Lis," ulang Refan.
Cowok itu berjongkok, dia menutupku dengan selimut yang diberikan Luis, tanpa aba-aba, Refan meraih 2 lapis bajuku dan merobeknya cepat. Meninggalkan 1 lapis sebagai penutup.
"Fan, lo——" Suaraku tercekat, Refan menatapku lama dan tersenyum getir.
"Kalo nggak kayak gini, kita nggak bisa kasih pertolongan buat lo, Lis."
Gadis dengan cekatan membungkus tubuhku dengan selimut, kurasa bentukku sudah tidak karuan lagi karena ditangani mereka. Aku merasa jadi kepompong.
Gadis juga sudah mengisi ulang bantal air dan menyuruhku memeluknya. Luis mendekat, memberiku susu cokelat panas agar tubuhku tidak kedinginan.
"Gimana? Masih kedinginan?" tanya Refan khawatir.
Aku mengangguk pelan. Gadis menatapku, menyuruh para cowok berbalik badan. Cewek itu melepas pakaiannya, masuk ke dalam selimut lalu menarik dan memelukku sangat erat. Hangat, tubuh Gadis hangat sekali. Kubalas pelukan cewek itu dan membenamkan kepalaku di bahunya.
"Dingin," gumam Gadis ketika memeluk tubuhku. "Jangan sakit, Lis, jangan memendam apa yang tengah kamu rasakan. Kamu boleh mengatakan apapun, kalo capek bilang, kalo sakit bilang, ya?"
Aku hanya mengangguk, tak sanggup berkata-kata.
"Untuk sementara, kita di sini aja sampai matahari keliatan, kita harus mastiin kalo Lilis udah bener-bener hangat dan nggak kedinginan," ucap Luis amat serius.
"Oke," balas Refan.
Aku menegakkan kepala dan bersandar di bahu Gadis, rasanya mengantuk sekali. "Dis, pengen tidur. Boleh? Kepala gue sakit banget."
Gadis meraba leher dan dahiku, lalu menghela napas lega setelah merasakan suhu tubuhku tidak sedingin sebelumnya. Cewek itu mengangguk dan mengelus kepalaku lembut.
"Kita bakal jagain kamu," ucap Gadis sangat lembut.
Luis berjongkok di depanku, rautnya sendu, merasa bersalah. "Maaf, Lilis. Seharusnya gue ngikutin apa yang lo bilang, maafin gue sekali lagi."
"Nggak apa-apa, harus ada kejadian biar kalian sadar," ucapku amat pelan.
Luis makin menunduk, dia merasa ucapanku tepat sasaran. Bukan hanya Luis, Refan pun juga merasa tersindir dan sedih. Kututup mataku perlahan, dan tertidur dalam keadaan dipeluk Gadis.
Entah berapa lama aku tertidur, begitu bangun aku sudah berada di tenda. Terangnya matahari menembus tenda, perbincangan antara Gadis, Luis, dan Refan terdengar samar.
Kepalaku masih pusing.
Tunggu, kalau aku sudah berada di tenda, bukankah tubuhku sudah mendingan? Karena, orang yang hipotermia tidak boleh berada di tenda.
Aku merasa bersalah karena menjadi orang yang menyusahkan, baru kali ini aku diserang hipotermia dan menjadi sangat lemah di tim. Dulu, kukira hipotermia hanya terserang angin dingin saja, ternyata lebih parah dari itu.