Aku tidak tahu ini sudah jam berapa karena sudah pagi, baterai hpku bahkan sudah habis. Luis masih belum sadar sama sekali, dia seperti orang mati. Tapi, dia masih hidup. Terlihat dari dadanya yang turun naik.
Refan dan Gadis tak terlihat, mereka berdua pergi melihat sekitar. Meninggalkanku dengan Luis yang entah sampai kapan tidak sadarkan diri.
Kalau aku pukul, bangun tidak, ya?
Aku beringsut mendekat, mengamati raut wajah Luis yang tampak damai. Cowok itu tiba-tiba membuka mata, lalu terbatuk-batuk sambil menyentuh dadanya kesakitan. Luis meringis pelan, dia menatapku dengan sedikit keluhan.
"Sakit ... ini di mana?" tanya Luis menyentuh kepalanya.
"Dasar jurang, lo jatuh dari atas, trus kepala lo juga banyak darah," ucapku, menunjuk bibir jurang dengan tatapan datar.
Luis tersenyum tipis, dia merasakan kain yang mengikat kepalanya. Lalu menatap kaos yang kugunakan, mata hitam itu melihat sekitar lalu berhenti ketika Gadis dan Refan berjalan ke arah kami.
"Ada sungai di ujung jalan, lo masih bisa jalan, Luis?" tanya Refan datar.
"Bisa." Luis berusaha berdiri, lalu bersandar di pohon. "Kita nggak bisa juga naik ke atas buat ambil barang, lebih baik kita jalan terus, jangan berharap buat sampai puncak dengan keadaan seperti ini."
Kami semua mengangguk. Refan jalan terlebih dahulu, diikuti olehku. Kulirik ke belakang sekilas, Gadis tampak memapah Luis dengan pelan. Sesekali cewek itu bertanya bagaimana keadaannya, bahkan berbicara hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan pendakian ini.
Pendakian ini berujung tragis.
Dari 7 orang yang naik, hanya 4 orang yang tersisa di tim kami. Refan sudah menghubungi 3 orang lain lewat group, tapi tidak ada respon sama sekali. Bukan tidak ada respon, jaringan internet mendadak hilang sejak kemarin.
Kutatap langit dengan sendu, entah aku yang berhalusinasi atau tidak, aku melihat abu berterbangan ke sana kemari. Kuangkat tanganku ke atas, yang bisa kugapai hanya angan untuk pulang.
Aku berjanji, Tuhan, jika aku pulang dengan selamat, aku akan meminta maaf pada Ayah dan Ibu. Kuusap pipiku, berusaha menguatkan hati untuk terus berjalan.
Tibanya di tepi sungai, kami duduk diam. Gadis beringsut ke arah sungai, meminum air itu dengan menyerngit halus. Dengan tidak adanya Logistik bahan makanan, kami terpaksa minum air sungai.
Refan berkeliling, dia menemukan batang pohon pisang. Sayangnya, tidak ada buah di pohon tersebut. Cowok itu memeriksa, mendapati buah kecil seperti ceri. Refan mencoba buah itu, lalu mengangguk karena tak merasakan adanya racun.
Mengingat kode etik gunung, Refan mengabaikannya. Dia melanggar kode etik itu demi bertahan hidup. Cowok itu mengumpulkan satu persatu buah yang dia temui, lalu membawanya kembali.
"Lo ... dapat dari mana buah ini? Nggak bahaya?" tanyaku sedikit khawatir.
Refan menunjuk arah jalannya. "Itu bisa dimakan, nggak beracun."
"Kode etiknya gimana? Kita nggak boleh mengambil apapun kecuali foto, ini pelanggaran," ucap Gadis berusaha menolak.
"Makan atau nggak sama sekali, pilih, lo mau bertahan hidup atau mati sekalian?" balas Refan dingin.
Tanpa ragu, Luis mengambil buah itu. Memakannya dengan amat pelan, cowok itu mengepalkan tangan, lalu membuang buah dalam mulutnya karena tidak bisa ditelan.
Luis terbatuk-batuk, mencoba meminum air sungai, bukannya tertelan, air itu kembali keluar melewati hidungnya. Dadanya makin sesak, sakit karena mencoba paksa minum.
Kuambil buah itu, memakannya dalam diam. Aku apresiasi dengan cara Refan untuk bertahan hidup, walaupun harus melanggar kode etik. Ah, persetan dengan kode etik itu sekarang. Kami bahkan sudah tersesat di hutan larangan.
Tidak ada jalan pulang.
"Sekarang bagaimana?" tanya Gadis sambil memakan buah itu, dia sudah tak peduli lagi asalkan masih hidup.
"Kita harus tetap jalan," ucap Luis susah payah.