Makin masuk ke hutan, makin banyak makhluk halus yang mengikuti kami. Tiap melangkah, ada saja yang mampir hanya sekedar melihat. Bentuknya beragam. Ada yang pucat dengan tubuh utuh, setengah badannya hancur, kulit yang meleleh karena abu vulkanik.
Lalu ... yang paling mengerikan adalah sosok pendaki yang setengah kepalanya hancur seperti ditimpa batu dari gunung Marapi.
"Gue ingetin sama kalian, jangan menoleh ke mana pun," ucapku serius.
Baik Refan, Gadis, dan Luis mematung seketika. Jika dianalisa lagi, mereka bertiga kurang memiliki kepekaan pada sekitar. Buktinya, di belakangku dan Luis ada sesuatu tinggi, besar, hitam, matanya warna oren menyala.
Kulirik makhluk itu, dia gondoruwo.
Dan ... Luis tidak menyadari itu.
Aku takut, ingin lari tapi kasian Luis. Cowok itu tak bisa bergerak lebih cepat dari berjalan, jika dipaksa, dadanya akan sakit, dan dia akan muntah.
Entah sejak kapan aku jadi bisa melihat makhluk halus ... INI MENGERIKAN! Dulu aku pernah dengar cerita, jika ada yang tersesat lebih dari 3 hari di gunung Marapi, tanpa ada bantuan apapun, mata batinnya akan terbuka. Apalagi tersesat di hutan larangan.
Kalau bisa berteriak, aku berteriak dari tadi. Kuhela napas sesaat, lalu tersentak saat melihat 3 sosok yang kukenali.
Tidak mungkin, itu pasti karena aku merindukan mereka bertiga. Kutelan saliva dengan berat, lalu berpura-pura tak takut.
Aku lapar.
Tanpa mereka bertiga sadari, aku menyambar buah yang tampak di mataku. Entah beracun atau tidak, yang jelas akan kumakan untuk menghindari penyakit maag.
Kalau ada yang berpikir aku adalah cewek yang sehat, pikiran itu salah besar. Aku cukup penyakitan, maag ada, infeksi paru-paru ada, kepalaku sering kesakitan, belum lagi masalah jantung. Bukankah aku pendaki yang merepotkan? Untung saja aku hanya diserang hipotermia.
Gadis meregangkan badannya, cukup pegal karena harus berjalan berjam-jam. Kakinya sudah bergemetaran, kalau dipaksa lebih lanjut, sepertinya dia akan terjatuh dan berguling-guling di tanah.
Refan menghentikan langkah, dia hanya diam. Menunggu kami bertiga menyusulnya dengan cepat, kami membulatkan mata syok.
"Jurang lagi?! Gunung macam apa ini, jurang semua isinya," ucapku berdecak sebal.
"Ini di luar prediksi. Kita biasa jalan di jalur aman, bukan jalur antah berantah kayak gini," sahut Luis lesu.
"Ini kalo lompat mati ngga, ya?" tanya Gadis sambil mengintip ke dasar jurang.
"Mut, jangan aneh-aneh," sahut Refan menarik tudung jaket Gadis agar tidak tergelincir.
Gadis mengerucutkan bibirnya, dia merasa dijahili sekarang. Mat mut mat mut, padahal panggilan samarannya Semut, tapi kalau dipanggil ujungnya saja dia merasa dipanggil ... Imut.
Membiarkan Gadis mengelus dagunya berpikir, aku menurunkan Luis duduk di batang kayu. Pegal karena terus memapah cowok itu, beratnya bukan main. Wajar, karena Luis adalah cowok gentle macam Refan.
Refan menunduk dalam, tatapannya sangat datar. Dia tengah berpikir tentang suatu hal yang tidak diketahui, selain Refan, aku juga tidak tahu bagaimana pemikiran Faisal. Kedua orang itu walaupun berbeda sifat, mereka sangat sulit untuk ditebak.
Tunggu, apa itu yang di tangan Refan? Aku baru pertama kali melihatnya, semacam gelang dengan manik-manik hitam, di situ juga ada tulisan yang sangat kecil.
Areal