Ini kisahku, tentang luka yang tak pernah sembuh, kebencian yang tak pernah pudar, dan harapan yang terus bertepuk sebelah tangan. Ini tentang hidupku, tentang keputusan egois yang berubah menjadi sebuah harapan—harapan yang juga kau gantungkan.
***
Setiap kali aku merindukannya, langkahku selalu membawaku ke tempatnya. Menatap penuh haru, menangis tanpa suara, hanyut dalam perasaan yang tak kunjung hilang. Bertemu dengannya? Itu adalah impian yang tak mungkin lagi terjadi. Kini, setiap kerinduan hanya bisa kutuangkan pada tanah dan batu nisan bertuliskan TARI.
Sejak ibuku pergi, hanya cerita tentang dirinya yang mengisi masa mudaku. Kisah tentang kesabarannya, kebaikan hatinya, dan perjuangan tak kenal lelah melawan kanker—penyakit yang perlahan mencuri hidupnya.
Ibuku adalah sosok yang begitu sabar. Ketika menikah dengan ayahku, tidak ada pesta perayaan apa pun. Bahkan, nenekku sering berkata, “Maharnya cuma sehelai sajadah murah. Ibumu dihargai murah oleh bapakmu.” Kalimat itu menjadi ungkapan kemarahan nenekku yang sudah sering kudengar.
Sejak kecil, aku sangat menghormati ibuku. Aku percaya bahwa ayahku pergi ke kota demi mencari nafkah untuk kami. Namun, keyakinanku itu hancur ketika aku duduk di kelas 3 SMP. Ayah tak datang di hari kelulusanku, membuatku menahan malu di antara teman-teman yang datang bersama orang tua mereka.
“Na, nggak ada yang datang?” tanya temanku dengan nada prihatin.
“Nggak ada,” jawabku singkat sambil menggelengkan kepala.
“Mau Tante ambilkan suratnya pas dipanggil nanti, Sayang?” tawar ibunya, lembut sekali.
“Nggak usah, Tante. Nirna bisa sendiri,” kataku sambil menunduk, menahan perasaan yang meluap.
Hari itu menjadi momen pertama aku memutuskan untuk berhenti mempercayai ayah. Janji-janji yang selalu ia ucapkan—akan datang menjenguk kami setiap bulan, akan mengajak kami liburan di hari libur—ternyata hanya kata-kata kosong yang melukai hati.
“Ayo pulang,” pinta Tante Anggi, menyentuh pundakku dengan lembut.
“Sebentar lagi, Tante. Tante duluan aja,” sahutku lirih.
“Jangan terus-terusan menatap seperti itu. Ibumu pasti sedih kalau terus ditangisi. Tangisanmu tidak akan membawanya kembali,” ujar Tante Anggi, sedikit menyindirku.
Aku hanya diam, memandangi kepergiannya dari makam ibuku. Tante Anggi adalah sosok yang menggantikan peran ibu untukku. Hari ini tepat 23 tahun sejak ibuku meninggal. Kepergiannya tidak hanya meninggalkan kami berempat, tetapi juga menyisakan luka yang mendalam bagi kami yang ditinggalkan.