About You, About Your Hope

Indira Raina
Chapter #1

JEJAK YANG TERTINGGAL

Di balik kerinduannya pada sang ibu, Nirna menyimpan luka mendalam yang membentuk hidupnya—dan mungkin juga harapannya.

Ini kisahku, tentang luka yang tak pernah sembuh, kebencian yang tak pernah pudar, dan harapan yang terus bertepuk sebelah tangan. Ini tentang hidupku, tentang keputusan egois yang berubah menjadi sebuah harapan—harapan yang kau gantungkan.

***

Setiap kali aku merindukannya, langkahku selalu membawaku ke tempat yang sama—tanah merah yang dingin, dihiasi nisan bertuliskan TARI. Aku berdiri di sana, membiarkan air mata jatuh tanpa suara. Suara angin seperti mengucapkan selamat datang, seolah tahu bahwa aku datang bukan untuk melepaskan, melainkan merasakan kembali.

Ibuku pergi dua puluh tiga tahun yang lalu, meninggalkan kenangan samar yang terselip di antara cerita-cerita Tante Anggi dan Om Ari. Mereka bilang, ibuku adalah wanita yang penuh kasih sayang, selalu sabar, bahkan dalam sakitnya. Tetapi kenangan itu tak pernah menjadi nyata bagiku.

Ibuku adalah sosok yang begitu sabar. Ketika menikah dengan ayahku, tidak ada pesta perayaan apa pun. Bahkan, nenekku sering berkata, “Maharnya cuma sehelai sajadah murah. Ibumu dihargai murah oleh bapakmu.”

Dulu, aku percaya bahwa ayahku pergi ke kota demi mencari nafkah untuk kami. “Nanti, ayah kesini lagi ya, nanti kita liburan ke kebun binatang,” janjinya padaku sambil tersenyum. Namun, janjinya padaku seperti angin, terasa tapi tak terlihat.

Aku masih ingat kenangan hari itu, ketika teman-temanku datang bersama orang tuanya untuk mengambil surat kelulusan sekolah. Dengan gelisah, aku menunggu ayahku di pintu gerbang sekolah, berharap ayahku datang untukku. Namun, sampai semua orang mulai memasuki aula, ayahku tak datang, ia memilih mengabaikan putrinya yang waktu itu baru berusia 15 tahun.

“Na, nggak ada yang datang?” tanya temanku dengan nada prihatin.

“Nggak ada,” jawabku singkat sambil menggelengkan kepala.

“Mau Tante ambilkan suratnya pas dipanggil nanti, Sayang?” tawar ibunya, lembut sekali.

“Nggak usah, Tante. Nirna bisa sendiri,” kataku sambil menunduk, menahan perasaan yang meluap.

Hari itu menjadi momen pertamaku untuk berhenti mempercayainya. Akhirnya, janji-janjinya pun menjelma menjadi tamparan angin dingin untukku.

 “Ayo pulang,” pinta Tante Anggi membangunkan lamunan panjangku.

“Sebentar lagi, Tante. Tante duluan aja,” sahutku lirih.

“Jangan terus-terusan menatap seperti itu. Ibumu pasti sedih kalau terus ditangisi. Tangisanmu tidak akan membawanya kembali,” ujar Tante Anggi, sedikit menyindirku.

Aku hanya diam, memandangi kepergiannya dari makam ibuku. Tante Anggi adalah sosok yang menggantikan peran ibu untukku. Ibuku tidak hanya meninggalkan kami berempat, tetapi juga menyisakan luka yang mendalam bagi Tante Anggi sebagai adiknya.

Setelah pagi yang sunyi di makam, aku kembali ke rumah Tante Anggi, tempat di mana aku dibesarkan setelah kepergian Ibuku. Suara televisi menyala dengan volume pelan di ruang tamu, menyiarkan acara pagi yang tak terlalu menarik perhatian. Aroma bawang goreng dan sup ayam dari dapur masih tersisa di udara, bercampur dengan bau pel lantai yang baru saja mengering.

Tante Anggi sedang duduk di sofa sambil memandangi foto ibuku. Meski suasananya hangat, tetap ada kesan hampa yang menggantung—seperti ruangan ini yang menyimpan kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.

“Tante, Kak Hasan kapan datang ke sini?” tanyaku sambil duduk disampingnya.

“Nanti siang. Paginya ada urusan dulu ke rumah mertuanya,” jawab Tante Anggi.

Lihat selengkapnya