About You, About Your Hope

Indira Raina
Chapter #1

MOMEN

Selalu saja, ketika aku merindukannya, aku selalu datang ke tempatnya. Menatapnya dengan tatapan rindu, menangisinya karena hati yang merindu. Bertemu dengannya hal paling mustahil. Terkadang ketika merindukannya, aku pergi menatap tanah dan batu Nisan yang bernamakan “TARI”.

Sejak kepergian ibuku. Hanya cerita tentangnya saja yang menemani masa mudaku. Cerita tentang kesabarannya, kebaikannya, dan perjuangannya. Selama dua tahun ia berjuang melawan kanker yang pelan-pelan menggerogoti hidupnya.

Ibuku, orang yang sabar, ketika menikah dengan ayahku, tidak ada perayaan sama sekali. Bahkan nenekku selalu berkata “Maharnya saja hanya sehelai sajadah murah, ibumu hanya dihargai murah oleh Bapakmu”. Mendengar kata-kata itu setiap nenekku marah adalah hal yang wajar untukku. Sejak kecil aku begitu menghormatinya, aku selalu berpikir bahwa ayahku tidak meninggalkan kami berempat demi istri barunya, ia hanya bekerja di kota demi kami berempat. Akan tetapi, keyakinanku padanya akhirnya terjawab ketika aku kelas 3 SMP. Ia tidak datang di hari kelulusanku, betapa memalukannya ketika aku harus duduk sendirian ditengah-tengah keramaian orangtua dan teman-temanku

“Na, ga ada yang datang?” Tanya temanku

“ga ada” jawabku singkat sambil menggelengkan kepalaku

“Mau Tante ambilkan suratnya pas dipanggil nanti, sayang?” tawar ibunya dengan lembut padaku

“ga usah tante, Nirna bisa sendiri” jawabku sambil melihat ke bawah menahan tangis        

hari itu adalah pertama kalinya aku memutuskan untuk tidak mempercayai ayahku, ia selalu berjanji padaku bahwa tiap bulan akan datang menjengukku atau tanggal merah akan mengajakku liburan. Tapi kenyataannya, janjinya hanya angin kosong yang melukaiku.

“Ayo pulang” pinta Tante Anggi yang menyentuh pundakku

“sebentar lagi, Tante. Tante bisa duluan aja” jawabku meminta tante Anggi pergi duluan.

“jangan menatapnya seperti itu, pasti ibumu sedih jika harus ditangisi terus menerus. Tangisanmu tidak akan menghidupkannya kembali” jelas Tante Anggi menyindirku yang sama sekali tidak menangis.

Aku selalu berpikir mengapa Tuhan menciptakanku hanya untuk disakiti, rasanya aku seperti lelucon untukNya, yang menangisi cipataanNya yang sudah tiada. Aku hanya memandangi kepergian tante Anggi dari makam ibuku, sosok seorang manusia yang sudah menggantikan peran ibu untukku. Hari ini tepat 23 tahun, ibuku sudah pergi, ia pergi tak hanya meninggalkan kami berempat, tapi ia pun pergi meninggalkan banyak luka untuk kami yang ditinggalkan.

“Tante, ka Hasan kapan datang ke sini?” tanyaku

“ nanti siang, paginya ada urusan dulu ke rumah mertuanya”

“Ohh aku kira pagi ini, tan”

Lihat selengkapnya