About You, About Your Hope

Indira Raina
Chapter #2

TANGKAPAN LAYAR


Pemandangan langit pagi ini cukup indah. Samar-samar, aku bisa melihat sang fajar mulai naik ke atas permukaan langit, memberitahukan bahwa sebentar lagi pagi akan berakhir dan berganti siang. Lelahku mulai terbayar, pendakian yang sudah memakan waktu dua hari akhirnya terpuaskan dengan pemandangan puncak yang sebentar lagi akan kucapai. Angin yang menemaniku begitu hangat, hamparan rumput yang luas menenangkan hatiku yang begitu kesepian. Terkadang, aku hanya ingin diam di sini untuk sejenak melupakan kehidupanku yang menyedihkan.

"Ngapain bengong?" tanya Lani.

"Enggak, cuma lagi nikmatin angin yang lewat aja," jawabku sekenanya.

"Na, kadang-kadang kalau lagi lihat kamu sendirian gini, aku suka mikir, wajah kamu kok bisa ya tanpa ekspresi gitu?" tanyanya sambil menggerakkan jari jemarinya yang mungil.

"Oh ya? Muka aku emang seperti ini kalau lagi diem. Aku nggak bisa request ekspresi muka aku sama Tuhan, kan, Lan?" jawabku sambil cengengesan.

Jawabanku membuat kami berdua tertawa. Lani adalah salah satu temanku di Pecinta Alam. Kami juga sering naik gunung bersama. Jika ada ekspedisi yang ditugaskan oleh UKM kami, kami berdua selalu mengajukan diri. Sama halnya dengan hari ini, aku dan Lani berada di Gunung Argopuro dengan ketinggian 3.088 meter di atas permukaan laut. Terkadang, melihat Lani menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku. Ia terlahir sebagai gadis yang serba bisa. Ia bisa menyanyi, bisa bermain gitar, dan dia juga memiliki wajah yang cantik. Menghabiskan waktu mengobrol berjam-jam dengannya tak pernah membosankan. Kadang ia membicarakan tentang orangtuanya dan kehidupan seorang anak tunggal yang begitu dimanjakan. Ia memiliki kehidupan seorang gadis yang dipenuhi keceriaan dan kebahagiaan. Menemukan dirinya yang telah berbagi cerita denganku adalah sebuah kemewahan bagiku.

"Na, lihat! Bekas candi! Bekas candi di Puncak Rengganis, Na!" tunjuk Lani semangat.

"Candi?" jawabku sambil melihat ke arah candi yang ditunjuk Lani.

Kami berempat pun mulai berjalan menuju puncak Rengganis. Aku, Lani, Jafar, dan Kevan saling mengobrol untuk mengusir rasa lelah dan bosan. Ketika kami berempat sampai, kami disuguhkan dengan pemandangan awan putih. Kadang aku berpikir, apakah ini yang disebut dengan Negeri di atas Awan? Aku begitu takjub dengan suguhan pemandangan kala itu. Aku memandangi awan itu dengan harapan bahwa awan itu akan mengikutiku pulang dan menjadikan setiap pagiku seputih awan.

"Na, nanti pas turun kita singgah dulu ke Danau Taman Hidup. Mau nggak?" ajak Kevan.

"Mau, mau. Tumben baik," tanyaku menyelidik.

"Iseng dikatain, baik ditanyain. Apa aku harus jadi jahat dulu biar nggak digangguin sama pertanyaan kamu?" jawabnya sambil berpura-pura menangis.

"Jangan jahat, Gung. Kamu nggak tahu betapa menakutkan berhadapan dengan orang jahat," jawabku sambil kembali memandangi awan di depanku.

"Hmmm, aku nggak tahu, Na. Jahat yang dimaksud kamu seperti apa. Tapi kamu harus tahu, dengan adanya kamu di sini merupakan hal yang baik untukku," jawabnya sambil merangkul pundakku.

Kevan menepuk pundakku, seolah-olah ia tahu bahwa hatiku sedang terluka oleh sesuatu. Ia tak pernah bertanya apa yang sedang aku alami, alih-alih bertanya hanya candaannya yang berusaha menemani kegelisahanku.

"Mau berenang nggak?" tanya Jafar.

"Mana ada, di sini nggak boleh berenang, nanti Dewi Rengganis marah," jawabku.

"Oh, mitos itu," jawabnya.

"Hush, Jafar, nggak boleh ngomong sembarangan!" timpal Lani sambil memukul kepalanya.

"Apaan sih, Lan! Suka rusuh deh," jawab Jafar yang terdengar kesal.

"Lani bener kali, Jaf. Kita itu lagi di tanah orang. Tahu kan peraturan kita-kita kalau lagi mendaki, jangan aneh-aneh, harus saling menghormati. Naik selamat, turun juga selamat," pungkas Kevan dan diaminkan oleh kami bertiga.

Kami berempat memutuskan untuk bermalam sehari lagi untuk melihat Danau Taman Hidup esok hari. Ketika pagi tiba, rasa malas terlalu menggerogotiku, tapi kupaksakan untuk membuka pintu tenda. Terlihat hamparan padang sabana yang begitu dingin. Aku buru-buru memakai jaketku dan keluar menikmati udara pagi.

"Udah bangun?" ledek Kevan.

"Belum nih, masih tidur," ledekku sambil menggerakkan tubuh dan tanganku untuk sekadar peregangan.

"Udah bangun?" ledeknya kembali.

"Udahlah, nggak lihat apa, lagi olahraga gini," jawabku kesal sambil menatapnya tajam.

"Sorry, sorry, aku penasaran aja. Muka kamu serius amat beberapa hari ini," jawabnya sambil berdiri di sampingku.

Aku hanya menatapnya. Aku menyadari kesalahanku yang tak bisa menahan kemarahan dalam hatiku. Aku menatapnya dan melemparkan senyum padanya. Semoga dengan senyuman ini, ia tidak menyadari kelelahanku terhadap hidupku sendiri.

"Untuk aku kan?" sambil kuambil kopi yang dipegangnya.

"What???" jawabnya kaget.

Hari itu, kami berdua berlarian di pagi hari. Kevan seperti mengejar seorang anak yang perlu ditemani bermain. Aku yang dikejar begitu bahagia kegirangan. Terkadang, hidup di antara orang-orang yang memiliki hidup yang sempurna membuatku merasa sempurna.

"Na. Ayo! Kita berdua foto dulu!" rengek Lani padaku.

"Oke, oke," jawabku sambil menghampirinya.

"Fotoin kita berdua yang bagus ya," pinta Lani pada Kevan.

Kami berdua berfoto dengan latar sebuah danau. Kami berempat melihat Danau Taman Hidup. Melihat airnya yang jernih dan berjalan di atas jembatan yang mulai rapuh membuat kami lupa akan tugas kuliah yang menunggu kami ketika pulang.

"Mau ke sini lagi?" tanya Kevan kepadaku.

"Aku?" jawabku.

"Hmm," jawabnya sambil mengangguk ke arahku.

"Sepertinya nggak."

"Kenapa?" tanyanya penasaran.

"Aku mau ke puncak Semeru dulu," jawabku percaya diri.

"Guys, Nirna mau mendaki gunung Semeru katanya," teriak Kevan sampai Lani dan Jafar mendengar.

"Wah, yang bener?" tanya Jafar tak percaya.

"Ikutan boleh ya, Na?" pinta Lani manja padaku dan aku hanya mengangguk menandakan boleh.

"Beneran, Jaf?" jawabku yakin.

"Ngapain ke sana? Emang bakal kuat?" ledek Kevan.

"Mau lihat Danau Ranu Kumbolo, mau lihat puncaknya, mau main air kayak di novel yang pernah aku baca."

"Novel?"

"Iya, judulnya 5 CM kalau nggak salah."

"Yah, bolehlah, asal jangan pingsan aja sebelum naik terus minta gendong pas turunnya," ledek Kevan.

"Wah, wah… lihat nanti ya, aku bakalan pamer foto kalau naik Semeru," jawabku dengan penuh keyakinan.

Kevan mengangkat tas carrier 40 liter milikku sambil terus meledekku. Tapi anehnya, aku pun ikut tersenyum dengan ledekannya. "Nirna! Kamu temanku yang ngeselin tapi ngangenin!" teriak Kevan penuh semangat.

***

Aku terbangun dari lamunan panjang yang membawaku ke masa lalu. Setiap foto dalam album yang mulai menua kembali mengingatkanku pada teman-temanku yang dulu menemani mendaki gunung. Mereka membuatku sadar bahwa aku tidak benar-benar sendiri waktu itu.

“Na, lagi ngapain? Bengong mulu pagi-pagi begini. Anak gadis itu harusnya liar, olahraga, atau ketemu teman-teman. Bukannya duduk manis depan rumah sambil senyum-senyum sendiri,” ceramah Rista.

“Ya...ya...ya... daripada ngurusin aku, lebih baik kamu urusin popok anakmu, Ta,” ledekku.

“Kamu ya,” ujarnya sambil memukul pundakku.

Lihat selengkapnya