About You, About Your Hope

Indira Raina
Chapter #3

PERPISAHAN KE TIGA

Suasana di stasiun Bandung kala itu begitu ramai. Banyak orang yang lalu-lalang. Anak kecil merengek ingin jajan kepada ibunya, seorang gadis men-charge handphone sambil tertawa, seorang laki-laki menggenggam erat tangan kekasihnya, dan ibu-ibu duduk menatap jalanan dengan tatapan kosong. Setiap pagi punya ceritanya sendiri, tetapi intinya sama: tentang bertahan hidup.

“Nirna!” panggil seseorang. Aku menengok ke arah suara itu sambil melambaikan tangan.

“Om, dia sudah datang. Om bisa pulang, dari tadi Om nungguin aku biar nggak sendirian.”

“Kereta kamu kapan berangkat?” tanya Om Ari.

“Harusnya 30 menit lagi,” jawabku.

“Nirna, Om Ari. Maaf aku telat, tadi ojek onlinenya nyasar,” terang Dipta dengan napas terengah-engah.

“Nggak apa-apa, Om kepagian aja nganter Nirna. Ya udah, Om pulang dulu, ya. Tante pasti nungguin di rumah.”

“Om, makasih ya.” Aku memeluknya dan mencium tangannya.

Aku melambaikan tangan saat Om Ari berjalan menjauh, tanpa menoleh sedikit pun. Tetapi, senyumnya tetap terukir di wajahku.

“Udah, turunin tuh tangan. Ntar patah, aku lagi yang repot,” ledek Dipta.

“Kalau sampai patah juga, aku nggak bakal ngerepotin kamu,” balasku.

“Nggak ada yang lupa, kan? Tiket nggak ketinggalan, kan?” tanyanya.

“Enggaklah, masa iya tiket lupa?” jawabku sambil mengerutkan dahi.

“Kamu kan suka lupa hal-hal penting. Aku aja sering dilupain sama kamu.”

Aku hanya meliriknya sambil tersenyum. Kami sudah berteman selama sembilan tahun. Dipta awalnya adalah sosok pemalu dengan kacamata persegi empat yang membuatnya terlihat tampak serius. Tapi setelah lama mengenalnya, citra itu perlahan luntur. Meski begitu, aku harus mengakui dia tampan, kompetitif, dan sukses di kariernya. Kadang, aku lupa betapa mengagumkannya dia.

“Ngapain kamu ngeliatin aku kayak gitu? Gantengan ya?” tanyanya sambil tersenyum.

“Apaan sih. Aku lagi lihat pemandangan, tahu. Tuh, sawahnya hijau banget.”

“Ya iyalah hijau. Kalau oranye namanya kebun jeruk.”

Aku hanya tersenyum kecil, sementara pikiranku melayang pada masa lalu.

“Orang rumah sehat?” tanyanya.

“Sehat kok. Paling Oma yang lagi sakit. Beberapa bulan ini Tante dan Om gantian jagain di rumah.”

“Tapi kayaknya ada yang kamu pikirin?”

“Seminggu yang lalu keluarga kami kumpul.”

“Ngapain? Syukuran biar kamu nggak jomblo?” godanya.

“Hah? Nggak sadar ya kalau yang ngomong juga jomblo?” balasku.

“Terus ada apa?” tanyanya serius.

“23 tahun meninggalnya Mama.”

“Pantesan murung. Udah, jangan dipikirin. Kita ke Yogya bukan cuma buat kerja, kan? Anggap aja ini liburan kecil buat kamu.”

Dipta selalu tahu cara menghiburku. Dia punya bakat membuatku merasa lebih baik hanya dengan senyum kecilnya. Selama di perjalanan, Dipta banyak bercerita tentang dunia pekerjaannya, koleganya, bahkan kabar keluarganya. Ia tidak pernah membiarkanku sendirian dengan pikiranku, dia mencoba banyak hal agar aku tersenyum di hari itu. Begitulah Dipta. Ia pengertian dan berhati hangat.

***

Sesampainya di Stasium Tugu, aku melihat seseorang memanggil Dipta dari kejauhan. Seorang gadis berlari ke arah kami. Sepatu putih, kemeja pink, dan rok selutut membuatnya tampak cantik.

“Dipta! Aku manggil dari tadi!” keluhnya sambil memegang lengan Dipta.

“Oh iya, aku denger kok.”

“Putri, namaku Putri,” ucapnya sambil mengulurkan tangan padaku.

“Nirna.”

“Aku teman sekantornya Dipta. Makasih udah bantuin proyek kami di sini.”

“Put, mending kita ke penginapan dulu. Nanti aja ngomongin kerjaannya. Kita baru nyampe dan capek banget,” ujar Dipta.

Aku memperhatikan interaksi mereka. Ada ketertarikan di mata Putri, tapi Dipta tampak canggung.

“Jadi besok langsung ke lokasi ya. Nanti kamu yang buat presentasinya, Na,” pinta Dipta.

“Udah aku siapkan dari kemarin. Tinggal tambahin beberapa materi tambahan aja.”

“Bagus. Aku percaya sama kamu.”

“Dip, ikut aku sebentar,” pinta Putri.

Aku memperhatikan mereka dari jauh. Dipta adalah sosok yang selalu sibuk, penuh energi, dan terlihat luar biasa di mata banyak orang. Sementara aku? Aku hanyalah seseorang yang mencoba bertahan.

Malam di Yogya menyala dengan cahaya lampu kota. Aku duduk di balkon penginapan, menatap jauh ke horizon.

“Kamu belum tidur?” tanya Dipta.

“Baru selesai edit presentasi buat besok. Aku nggak mau ngecewain kamu.”

“Na, sebenarnya bukan cuma soal kerjaan aku ngajak kamu. Udah lama kita nggak ketemu. Dulu kamu sibuk banget.”

“Kamu memujiku atau meledekku?” tanyaku.

“Nggak. Aku serius. Aku yakin kamu bakal nemuin jalanmu sendiri suatu hari nanti.”

Aku tersenyum kecil.

Malam itu kami habiskan dengan obrolan ringan dan tawa kecil. Tak ada rencana masa depan yang dibahas, hanya nostalgia tentang masa lalu dan harapan samar tentang kebebasan.

“Aku harap yang kamu bilang jadi kenyataan,” ucapku pelan.

“Pasti, Na. Kamu Nirna, si kuat yang tangguh.”

Aku menatap langit malam. Entah seperti apa kebebasan yang kami impikan, tapi malam itu, semuanya terasa cukup.

Pagi-pagi kami menyiapkan semuanya. Kursi sudah berbaris dengan rapi. Aku memeriksa daftar tamu undangan dan memastikan presentasi yang kusiapkan tadi malam sudah siap sebelum kuserahkan pada Dipta dan Putri. Dipta berdiri di atas panggung, menjelaskan keunggulan produk perusahaan dengan lancar dan penuh karisma. Para tamu tampak terpesona olehnya. Putri, yang berdiri di sampingnya, tampil memesona dan percaya diri. Mereka tampak serasi di atas panggung.

“Mereka berdua cocok sekali ya di panggung bersama,” bisik salah satu tamu di sebelahku.

Aku hanya tersenyum kecil. Seharusnya aku bersyukur memiliki teman seperti Dipta. Namun, entah mengapa ada rasa tak nyaman yang mengendap di dadaku. Rasanya seperti berdiri di antara dua dunia yang tak kumengerti—antara bangga dan perasaan kecil yang sulit kujelaskan. Tanganku mengepal di sisi tubuhku tanpa sadar.

“Na, gimana presnetasi aku tadi di panggung? Bagus nggak?” tanya Dipta ketika acara selesai.

“Bagus kok, kamu hebat,” jawabku singkat sambil tersenyum.

“Oh iya, nanti malam kita ada pesta perayaan. Kamu ikut ya?” katanya sambil menepuk bahuku.

Aku mengangguk pelan. Meski ada keraguan yang samar, aku tahu aku harus hadir.

***

Lihat selengkapnya