Sudah seminggu, semenjak kepergian Oma. Suasasa suram dirumahku masih terasa. aku masih sering melihat Tante Anggi menangis terisak, sebagai anak yang ditinggal oleh seorang ibu, tante Anggi adalah orang yang sedih atas kepergian Oma.
“Oma membesarkan anak untuk disayangi, bukan untuk di hina-hina seperti itu. bukan untuk ditinggalkan bertahun-tahun, apalagi dijadikan pembantu oleh suaminya sendiri” kata kata Oma dipenuhi oleh rasa amarah dan penyesalan.
Mendengar kata-kata itu hanya membuatku penasaran, mengapa keluargaku membenci ayahku. Apa yang terjadi di masa lalu dan apa yang telah dilakukannya pada Mamah. Kata-kata menyakitkan selalu aku dengar setiap hari. Setiap kami sekeluarga berkumpul atau setelah pulang dari makam Mamah bahkan ketika ayahku ada, pembicaraan ini seperti makanan sehari-hari yang harus diulang dan ku makan dengan teratur. Sama dengan hari ini, luka yang tertanam di hati kami masing-masing kembali terbuka setelah Oma meninggal.
“Na, kamu udah seminggu di rumah, pekerjaan kamu dengan teman kamu bagaimana?” Tanya Tante Anggi
“udah selesai, Tan” jawabku singkat dengan nada sedikit marah
“Na, tante minta maaf, seharusnya waktu itu, tante bilang kalau keadaan Oma sedang kritis, tapi tante takut kamu batalin kerjaan kamu di Yogya” jelas tante Anggi
“Tan, apa aku bukan anak tante? Mengapa tidak pernah ada keterbukaan diantara kita berdua. Mengapa aku harus selalu menjadi orang yang terakhir tahu. Mengapa tante memberiku penyesalan yang tak bisa ku bayar dalam hidupku, apa aku bukan bagian dari keluarga ini? Apa aku masih dianggap anak pembawa sial karena ayahku” tanyaku dengan amarah dan menangis
“NA, CUKUP!! Mamah ga bermaksud seperti itu, kamu harus ngerti posisi mamah waktu itu” ucap Rista sambil memegang pundak ibunya
“kapan aku ga pengertian sama keluarga ini, Ta? Sebelum kamu ngomong kayak gitu, apa pernah orang di rumah ini mengerti keadaan aku?! Aku ga nuntut perlakuan kalian waktu aku masih kecil, tapi sekarang, sekarang Ta! Kalian pernah ga ngerti sekali aja keadaan aku seperti apa? aku ga pernah meminta lebih dari keluarga ini, aku pun ga pernah menuntut kasih sayang berlebih dari kalian, karena aku sadar kalau aku hanya seseorang yang menumpang di rumah ini. Tapi apa salahnya jika aku diberitahu kebenarannya? Mengapa tante hanya bilang keadaan Oma sama kamu dan Anjani aja, apa karena kamu anaknya dan aku bukan!!??” ungkapku sambil pergi
“Na, Tante sama sekali ga bermaksud seperti itu” jawabnya lemas
“Mah, mamah gak apa-apa. Nirna hanya sedang marah. Dia menyesal tidak bisa bertemu Oma untuk kali terakhirnya. Jangan marah, dia akan kembali baik seiring dengan waktu” jelas Rista sambil memeluk ibunya.
Aku mendengar suara Tangis dari luar. Mendengar suara tangisan dari Tante Anggi begitu menyakitkan. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh tante Anggi padaku juga menyakitkan. Seketika, aku melihat ke arah jendela, aku melihat Awan putih yang beterbangan tanpa arah. Apakah aku seperti mereka? beterbangan tanpa arah dan berakhir tersesat.
“kak…” panggil Anjani sambil mengetuk pintu kamarku
“ya” jawabku
“kak, aku boleh masuk?” tanyanya.
Aku membuka pintu kamarku dan membiarkan Anjani masuk
“ada apa? Kakak pusing ingin tidur” pintaku sambil berbaring di tempat tidur
Anjani duduk disampingku dan menyentuh punggungku “Kak, maafin mamah ya, mamah ga jahat, dan juga kaka jangan sedih terus” bujuk Anjani
“kalau kamu mau ngomong itu, lebih baik kamu keluar, kakak capek” Usirku.
Anjani akhirnya pergi, aku menoleh ke pintu yang Anjani tutup, aku menangis karena sikapku yang dingin padanya. karena kemarahanku, aku melampiaskan kemarahanku pada orang aku temui. Aku melihat album foto di kamarku dan membuka lembar demi lembar, ketika melihat bayangan Oma aku benar-benar merasa sesak. Aku membayangkan betapa ia akan marah karena aku tak ada di saat terakhirnya, aku masih belum bisa merelakan kepergiannya.
Di tengah kesedihanku sebuah suara dering handphone berbunyi, dengan sedikit kesal aku bergumam “siapa sih yang nelpon, orang lagi sedih malah diganggu!”
“Hallo” jawabku
“Na, aku di depan rumahmu sekarang. Bisa tolong bukakan pintunya, please” pintanya
“Agung???” tanyaku terkejut
Aku buru-buru membukakan pintu, mengecek keberadaannya. Ketika aku membuka pintu, dia benar-benar ada di depan mataku. Dengan penampilan mainstream yang masih menjadi style nya, rambutnya yang keriting ia ikat rapi. Aku menatapnya dengan mata yang masih terkejut, air mata yang terus turun tanpa henti menyambutnya. Rasa rindu yang sudah tak terbendung membuatku sejenak lupa akan kesedihanku.
“Na, kamu mau terus nangis, ga mau memelukku?” pintanya sambil tersenyum
Aku bergegas memeluknya, pelukannya menenangkanku, tangannya selalu menepuk-nepuk lembut punggungku ketika aku sedang bersedih. “tenanglah, aku ada di sini sekarang, jangan menangis lagi”, lalu ia melihat wajahku dan berkata “kamu gendutan ya, tembem banget itu pipi”, aku hanya tersenyum ketika ia berkata seperti itu
“kamu kenapa bisa di sini?” tanyaku langsung
“hmmmm tidak penting aku bisa di sini sekarang, karena kita sudah terlambat bagaimana kalau kita berangkat sekarang” ajaknya sambil melihat jam tangannya
“kemana? Memangnya kita mau kemana?” tanyaku kembali
“karena ini udah siang, kita akan sampai sore, lebih baik kamu pakai baju hangat, disana pasti dingin” jelasnya
Ia menyuruhku berganti pakaian dan memakai baju yang hangat. Aku menuruti permintaan Agung dan bergegas masuk ke rumah. Ketika aku sudah selesai, Agung sedang mengobrol dengan Tante Anggi dan Om Ari.
“Tante, Om, saya pinjam Nirna dulu, nanti malam saya pulangkan dengan selamat” jelas Agung dengan sopan kepada Om Ari dan Tante Anggi.
“tante aku berangkat dulu” ucapku sambil pergi tanpa salam
“Na, hati-hati” panggil tante Anggi padaku
Aku berhenti sejenak ketika tante Anggi memanggilku. “Tante, saya janji bakalan menjaga Nirna dengan baik” jawab Agung untuk menenangkan Tante Anggi
Agung merangkul pundakku, kami berdua pergi dengan mengendarai Motor, aku di bawa olehnya tanpa tahu akan kemana, aku tidak pernah khawatir bagaimana aku akan bepergian bersama Agung. Karena aku tahu, aku bisa mempercayainya. Adakalanya, aku tak bisa mempercayai diriku sendiri, karena dengan mudah aku selalu melarikan diri dari masalah yang aku punya. Karena hanya dengan berlari dan menghindar aku bisa bertahan hidup, dengan amarah dan rasa iri aku bisa menahan penyesalan, tapi dengan kematian seseorang aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak bertahan dari kepergian seseorang.
“kita turun di sini, ke atasnya kita harus jalan kaki” ucapnya sambil turun dari motor
“ini sebenarnya dmana?” tanyaku
“ini wilayah gunung Manglayang, Na. kamu pertama kalinya ke sini kan?” jelasnya
“hmm” aku mengangguk
“pemandangan di sini cukup bagus, kita bisa melihat lampu-lampu kota menyala dan kita bisa melihat matahari terbenam. Kamu lihat ke sekeliling kamu. Pohon pohon di sini mengeluarkan aroma kesegaran bukan?” tanyanya sambil menghirup udara dengan merentangkan kedua tangannya ke samping. Aku melihat ke sekelilingku, aku melihat banyak pohon rindang menjulang tinggi. Aku merasakan tangan yang mulai berkeringat dan angin yang begitu dingin menerpa wajahku. Ketika aku melihat ke atas, aku melihat sebuah tempat mirip pendopo. Melihatnya, Aku ingin segera sampai, meskipun napasku mulai terengah-engah karena kelelahan aku terus menerus melangkah. Aku melihat Agung sudah berada di atas, dia berteriak dan melambaikan tangannya padaku yang masih berada jauh di bahwah.
“Nirna!!! Semangat!!!” ia meneriakan kata yang sama dan berulang dan membuat semua orang tertawa melihatnya. Aku hanya tersenyum melihat kelakuan Agung yang seperti anak-anak.
“Akhirnya sampai juga” ucapku kelelahan dan duduk di tangga
“Na, berdiri. Kamu ga penasaran? Dengan apa yang bisa kamu lihat di sini. Lihat pemandangan dan gunung di sebelah sana” paksanya sambil menarik tanganku.
Aku melihat pemandangan yang berada di depan mataku, hijau penuh dengan warna hijau. Ketika aku melihat ke bawah, daun pinus mulai berwarna kekuningan. Seperti menandakan bahwa musim gugur akan segera tiba. Dari atas sini, aku mersa lebih lega dan tenang. Aku melihat awan putih yang memberikan senyuman manis kepadaku. Sore itu, aku dikembalikan pada keadaan bahwa aku masih hidup dan bisa melihat pemandangan yang menenangkan ciptaan Tuhan.
“Na, aku gak tahu seberapa besar kesedihan kamu sekarang? Mungkin bisa seluas pemandangan di depan kita atau setinggi tempat kita berdiri” ungkapnya sambil melihat ke arah bawah
“kamu itu bicara apa sih?” tanyaku keheranan
“yah intinya, jangan teralu banyak nangis. Nanti mata kamu kayak Panda, hitam dan bengkak” jawabnya menghibur
Aku tertawa mendengar ucapannya, Agung bukanlah orang yang pandai menghibur orang, ia selalu membawaku ke banyak tempat indah alih-alih menghiburku dengan kata katanya yang konyol. Melihatnya seperti mimpi, sudah hampir 3 tahun aku tidak bertemu dengannya karena ia kembali ke kampung halamannya di Batam. Selama itu aku tidak bertemu dengannya, karena dia sibuk dengan usaha yang ia rintis, lambat laun aku pun mulai menjauhi pertemanan kami.
“kamu, mengapa ada di Bandung?” tanyaku
“main” jawabnya asal
“Gung…!!!” tanyaku sedikit menaikan suaraku
“sebetulnya aku sudah di bandung dari bulan lalu, aku berencana pindah ke bandung lagi sambil buka cabang usaha kulinerku yang berada di Batam. Aku tahu nenek kamu meninggal dari Dipta. dia menghubungiku seminggu yang lalu memintaku melihat kamu. Apakah kamu baik-baik saja atau tidak” jelasnya
“Dipta? Aku udah salah sama dia. aku hanya melampiaskan kemarahanku padanya karna Oma meninggal saat aku di yogya bersamanya” ucapku sedih
“terkadang kita tidak pernah tahu bagaimana orang bisa terluka oleh kita, begitu pun sebaliknya. Yang kita harus tahu adalah kita harus bertahan atas luka itu” jelasnya bijak
“kamu salah makan ya, Gung” ucapku sambil tertawa
“Na, sesekali kamu harus bisa mengungkapkan apa yang ada dalam hati kamu, ga baik juga dipendem, ga baik juga cuman nangis sendirian. Manfaatin teman kamu ini agar kamu bahagia” sambil ia menunjuk dadanya dengan bangga dan melanjutkan kata-katanya kembali “dan juga jika kamu merindukan seseorang tidak ada salahnya untuk mengatakannya” lanjutnya saling menatapku
“Rindu? Aku bahkan udah jarang mengatakan kata itu” jawabku menatap langit
“kenapa?” tanyanya tahu sesuatu
“karena yang aku rindukan, (aku terdiam sejenak) orang yang tidak ada di dunia ini”
“ibu kamu?” tanyanya sambil melirikku.
“Entahlah, banyak orang yang aku rindukan akhir akhir ini” tambahku
“merindukan seseorang adalah bukti kamu menyayanginya”
“entahlah” jawabku sambil memalingkan wajahku
“memalingkan wajah juga bukti seseorang tidak ingin ketahuan bahwa yang didengarnya sebuah kebenaran”
Aku hanya menatap langit yang indah, sore itu senja mulai membenamkan dirinya, warna orange di langit mulai tampak memudar digantikan oleh cahaya lampu perkotaan. Aku bisa melihat lampu-lampu mulai menyala menggantikan nyalanya bintang di langit. Samar-samar aku merasakan kerinduanku pada orangtuaku. Aku tidak pernah mengakui kerinduanku pada seseorang bahkan pada mereka yang sudah tiada. aku hanya memendamnya, berusaha menyembunyikan, dan akhirnya ia mulai memudar dalam ingatanku.
“Na, ini ada titipan dari Dipta. kemarin aku sempat ketemu sama dia, ida nitip surat ini buat kamu. Meskipun agak aneh ya, zaman sekarang kan bisa kirim Whatapps atau DM Instagram” celotehnya sambil memberikan surat itu padaku
“makasih, Gung” sambil mengambil surat dari Agung
Aku melihat langit atap kamarku, aku terbaring kebingungan. Aku melirik surat dari Dipta, tapi dengan segera memalingkan wajahku dari surat itu. aku tidak ingin membacanya malam ini. Aku tidak membencinya, hanya malu karena menjadi teman yang tidak bisa diandalkan dan hanya bisa menyalahkna keadaan pada orang-orang disekitarku.
Pagi hari aku melihat Rista dan Anjani berbicara di teras depan. Aku berdiri di balik kaca sembari menguping pembeicaraan mereka.
“kak, aku tetap berangkat ya Lusa, soalnya tiket dan tempat tinggal kan udah di pesan. Di sana juga Anjani ga lama, cuman 2 minggu” jelas Anjani
“mamah udah Tahu?” Tanya Rista
“udah kak, kemarin malam Anjani udah bilang” tambhanya
“memangnya kamu mau kemana?” tanyaku tiba-tiba sambil membuka pintu rumah mengangetkan mereka berdua
“ka Nirna?! Ngangetin aja” jawab Anjani sambil menepuk nepuk dadanya
“Lusa, kamu mau kemana?” Tanyaku kembali
“Ke Kediri kak, aku mau ke kampung Inggris, lagi libur kuliah jadi aku ke sana buat belajar” jelas Anjani
“Kediri?” tanyaku
“kenapa emang, Na” Tanya Rista
“Aku ikut ke sana” jelasku memutuskan untuk ikut
“IKUT!!!???” jawab Anjani dan Rista bersamaan karena kaget
Aku memutuskan untuk pergi ke Kediri, Pare, dengan alasan menjaga Anjani di sana. Meskipun itu hanya sebuah alasan untukku pergi dari rumah ini. Mungkin dengan kepergianku dari rumah ini, aku bisa sedikit bernapas lega dan melupakan apa yang telah terjadi.
“kami berdua pergi ya” ucapku sambil menyalami tangan om Ari dan Tante Anggi
“kalian berdua hati-hati” ucap Tante Anggi
Tante Anggi memeluk kami bergantian, ia berbisik kepadaku “Na, jangan terlalu memaksakan, cobalah untuk memaafkan” bisik tante Anggi
Aku hanya mengangguk. Sesekali aku menengok ke belakang, mereka melihatku dengan tatapan penuh harap. Aku tahu mereka berharap agar aku tidak pergi.
“mah, menurut mamah ini baik buat Nirna?” Tanya Rista
“mamah gak tahu, mamah hanya mempercayai apa yang Nirna putuskan. Mamah juga gak mau dia menangis terus menerus. Jadi lebih baik dia pergi kalau itu kemauannya” jelas Tante Anggi sedih
“Mamah jangan sedih mending main aja sama Laura” timpal Adit sambil menyerahkan Laura kepada mertuanya
“Ah cucu Abah, sini sini” sambut om Ari
Rista melihat kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah sambil membawa Laura, anaknya. Ada rasa khawatir dalam hatinya. ia menatap langit dan berkata “kapan ujian ini akan berakhir”, Rista menghela napas berat. Adit yang melihatnya, memijat pundaknya agar lebih santai.
“Bun, lebih baik nyemil aja. Biar santai” bujuknya
“Bunda harap, Nirna baik-baik di sana” harap Rista
“Nirna itu keras kepala, dan Cukup Egois, Bun.Tapi dia gadis yang baik” tambahnya.
***********
Aku mengamati Anjani yang berada di sampingku, ia tengah sibuk dengan buku yang dibacanya. Aku tidak banyak berbicara dengannya karena banyak sekali yang aku pikirkan. Aku mengingat percakapanku bersama Agung beberapa hari lalu yang setiap malam menggangguku
“kamu yakin ga merindukannya?”
“engga? Untuk apa?” jawabku ketus
“kamu tahu? Seorang anak perempuan selalu merindukan ayahnya. Ia mengingat setiap keburukannya, tapi ia pun tetap merindukannya. Itulah anak perempuan. Ia tangguh seperti kamu tapi sekaligus rapuh ketika merindukan keluarganya”
“jangan sok tahu”
“bukan sok tahu, tapi aku tahu, dan harusnya kamu pun tahu apa yang aku bicarakan”
Sesekali, suara rel yang bergesekan membangunkku dari tidurku, aku melihat keluar jendela, pemandangan sawah berganti dengan rumah rumah warga.
“Kak, bentar lagi kita sampe” Ucap anjani sambil memeriksa barangnya
“Ok” ucapku mengangguk
Sesampaikanya di stasiun Kediri, banyak orang yang lalu lalang, ada yang datang, ada juga yang pergi. Aku melihat Anjani sedang sibuk menunggu taksi online yang dipesannya, dan aku sibuk memerhatikan orang-orang disekitarku. Kenapa orang-orang begitu sibuk siang itu? Pikirku.
“dari mana mbak?” Tanya supir itu pada kami berdua
“bandung, pak” jawab Anjani
“wahh, jauh ya. Ke sini mau belajar bahasa inggris ya” Tanya supir itu kembali
“iya, sambil main juga” jawab Anjani semangat
Aku hanya mendengarkan percakapan Anjani dan sang supir, aku tersenyum mendengar jawaban polos Anjani, terkadang Anjani membuatku Iri. Ia masih muda dan banyak mimpi yang masih bisa diraih olehnya. Aku selalu berharap dirinya tidak seperti aku yang masih tersesat dalam menentukan arah.
Kami berdiri di depan sebuah rumah, aku melihat rumah sederhana dan rumah itu diapit oleh dua pedagang sekaligus. Di samping kiri ada penjual nasi kuning dan disamping kanan ada toko klontongan. Kami pun mengetuk pintu rumah itu, lama kami menunggu di luar meskipun akhirnya ada seorang perempuan bertubuh mungil yang membuka pintu rumah ini
“mbak Nirna dan mbak Anjani ya” tanyanya sambil menunjuk kami berdua
“iya, mbak” jawabku pelan
“masuk saja, kamarnya sudah saya siapkan. Mbak sukma udah bilang kalau adik-adiknya mau tinggal disini selama dua minggu” terangnya sambil menunjukan kamar kami berdua.
Mbak siti adalah teman kak sukma ketika kuliah di Jakarta. Mbak siti tinggal di rumah ini bersama ibunya. Ibunya bernama bu Siroh, mereka berdua hanya tinggal berdua. Aku melihat beberapa foto yang menghiasi rumah ini, foto keluarga hingga foto wisuda yang tersusun rapi di dinding. Mbak Siti pun, menunjukan kamar yang akan kami tinggali berdua. Kamar yang kami tinggali cukup besar, aku mendekat ke jendela kamar dan membukanya. “Indah” Gumamku.
“kakak, mau ikutan belajar juga ga di sini? Anjani udah mulai belajar besok pagi, kaka ga apa-apa sendirian?” tanyanya cemas
“kamu yang bener aja belajarnya, besok kakak mau jalan-jalan kok. Sambil lihat-lihat mau belajar atau engga nya” jawabku
Anjani hanya mengangguk patuh. Dia langsung disibukkan dengan barang yang ia keluarkan dari koper. Ia menata baju-baju di dalam lemari yang sudah disediakan. Ia menata dan membereskan semua barang-barangnya. Aku hanya membereskan baju dengan santai, tapi ketika mengeluarkan buku yang akan ku baca, surat dari Dipta tak sengaja terjatuh. Aku menatap surat itu, aku ingin membukanya, tapi aku ragu, aku takut dengan isi surat itu. Aku takut dengan kenyataan bahwa isi surat itu malah menyakitiku.
Kakiku berjalan tanpa henti, melihat ke sekeliling jalan yang dipenuhi dengan tempat kursus bahasa inggris dari listening, speaking, toefl bahkan pre-toefl. Aku melihat orang-orang banyak yang mengendarai sepeda sebagai alata transportas, ada juga yang tak sedikit memilih berjalan kaki sama seperti aku. Mungkin mereka berjalan kaki karena tidak bisa mengendarai sepeda seperti aku. Aku berjalan menyusuri jalan dari gang ke gang, tak heran juga ketika aku menemukan jalan buntu, aku kembali ke jalan yang semula. Hingga akhirnya aku melihat tempat les musik, kakiku spontan langsung masuk ke tempat itu. ketika aku masuk , tidak ada siapa-siapa hanya terlihat alat –alat musik yang di pajang rapih dekat jendela. Dari gitar, biola, bahkan Piano. Tanpa sadar aku menyentuh tut piano dan membunyikannya, suara Piano selalu mengingatkanku pada Dipta yang mahir memainkan Piano.
“ada yang bisa saya bantu mbak” Tanya seseorang mengangetkanku dari arah belakang
“ohhh,, iya,,, (dengan gugup), hmm saya mau mendaftar kelas Gitar” jawabku gugup karena malu
“ohh bisa mbak, mari ikut saya” ajaknya sambil menuju ke sebuah ruangan mirip kantor administrasi
Aku duduk sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Dan laki-laki itu sibuk mencari sesuatu di bawah mejanya, dan menyerahkan sebuah formulir yang harus aku isi. Ia menjelaskan hari dan jam untuk kelas gitar serta biaya yang harus aku bayar. Ia juga menawarkan kelas lain seperti piano dan biola.
“jadi mbak mau ngambil kelas Gitar saja?” tanyanya
“iya “ jawabku pendek
“oh iya perkenalkan nama saya Hendra, tapi seringnya di panggil Mr. Hans” tambahnya sambil tertawa
“ohh iya” jawabku dengan wajah keheranan
“Miss (ia lalu melihat formulir pendaftaranku) Nirna, jangan kaget begitu. Di sini biasanya orang memanggil dengan kata Mr dan Miss” jelasnya lagi
“Baik Mr” jawabku mengerti
“untuk pembelajaran dilakukan pada jam 10.00-12.00 siang ya, besok sudah dimulai ya Miss” tambahnya
Aku mengangguk mengerti dan pamit untuk pergi. Aku berjalan kembali keluar menuju jalan utama dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Meskipun akhirnya aku mampir sebentar ke toko buku untuk membeli buku dan alat tulis. Matahari yang sudah meninggi membuat perutku kelaparan. Aku melihat beberapa tempat makan yang sudah buka di sepanjang jalan. Dari Rawon, Makanan Khas Padang, Ayam goreng dan Burung Puyuh.
“Silahkan Masuk mbak” sambut pemilik warung dengan senyuman
“hmmm di sini ada apa saja, Pak” tanyaku
“ada bebek, ayam, burung puyuh, semuanya bisa di goreng atau di bakar” jelasnya
Aku berpikir ayam dan bebek sudah biasa aku makan “saya pesen Burung puyuhnya ya pak, saya mau coba” jelasku