Aku memegang tangan Ayah yang tertidur di rumah sakit. Aku melihatnya tidur tanpa beban. Aku benar-benar merasa menyesal. Kemarahan dan kenangan buruk menguasaiku selama ini. Aku sampai lupa bahwa masih ada kenangan manis yang ayahku berikan kepadaku. Mengapa aku bisa lupa? Waktu itu?.
“Nirna, ini baju yang bagus, kamu pakai ya, ayah beliin ini khusus buat hadiah ulang tahun kamu” ucap ayah padaku
“makasih Yah, Nirna seneng deh dapet hadiah dari ayah” jawabku sambil memluk ayah
Mengapa aku melupakan kenangan indah itu demi kenangan buruk. Apakah aku sudah gila memarahi ayah waktu itu. Kasih sayang seorang Ayah tidak akan menghilang karena ia menikah kembali dengan orang lain. Aku salah, karena memikirkan perasaanku dan rasa marahku saja. Aku tidak memikirkan bahwa kemarahanku pada ayah adalah bentuk kerinduanku pada sosoknya sebagai Ayah.
Akhirnya aku mengerti mengapa kepergian ibuku sangat berpengaruh pada hidupku. Karena satu cahaya telah redup dalam hatiku dan jika satu cahaya redup lagi apakah aku bisa menahannya? Apakah aku bisa mengembalikan cahaya milik ayah ke hidupku. Apakah aku mampu menahan rasa sakit jika kehilangan seseorang kembali menghampiriku. Apakah aku akan mampu bertahan?.
“kamu ngapain di sini, Dip” tanyaku
“aku khawatir, pas aku ke kantor, kamu ambil cuti seminggu kata Agung” jawabnya
“aku mau disni, nemenin ayah dulu” sambil ku tatap senja yang akan terbenam
“Na, aku tahu kamu sedih, tapi ga bagus juga jika terlalu sering ke rumah sakit”
“kamu tahu, aku baru ingat kebaikan-kebaikan ayahku akhir akhir ini, aku emang bodoh. Aku emang jahat. Kenapa aku baru mengingatnya setelah ia jatuh sakit” paparku kesal dan sedih
“Na, aku gak tahu perasaan kamu sekarang Gimana, tapi aku yakin ayah kamu udah maafin kamu. jangan salahkan diri kamu lagi. Sudah cukup kamu menderita dari dulu, jangan tambah lagi penderitaan kamu sekarang” ucapnya
“kamu ingat, dulu aku pernah membuat puisi untuk Ayahku, dan aku mengirimkannya padanya. aku benar-benar menyesal. Dan aku mengirimkannya di hari kelulusanku 5 tahun yang lalu”
******
Hari itu, aku berangkat dengan penuh kebahagiaan, hari itu adalah wisuda kelulusanku. Di mana akan menjadi hari terakhir di kampusku. Aku mempersiapkan hari ini dengan sempurna. aku harap semua orang yang aku sayangi datang termasuk ayahku.
“tante, gimana? Aku cantik ga?” tanyaku malu
“cantik kok, cantik” jawabnya
“masa keponakan om ganteng” ledek Om Ari
“ya udah hayu ntar telat” panggil Kak hasan.
“kak, ayah datang kan?” tanyaku
“datang, dia bilang akan datang” yakin ka hasan padaku
“nanti kamu jangan gugup ketika dipanggil sama rektor” ingat tante Anggi
“bukan sama rektor, tan, aku dipanggilnya sama protokoler tapi salamannya sama Rektor” jelasku sambil tertawa
Sesampainya aku ke gedung, aku berlari menuju teman-temanku yang sudah siap menungguku. Aku melihat Dipta dan Agung di depan gedung. Mereka tampil serapi mungkin untuk hari ini.
“Nirna” teriak Agung
“kamu ngapain teriak-teriak” teriak Dipta ke telinga Agung
“Came on, ini hari wisuda, akurlah dan jangan bertengkar lagi” sambil ku gandeng mereka masuk ke gedung.
Aku melihat ke atas, mencari temat duduk Ayah dan ka Hasan yang masuk sebagai waliku. Tapi aku tak bisa menemukannya karena terlau gelap dan ramai. Aku akan sedih sekali jika ayah tidak datang ke wisudaku. Ketika aku keluar pun hanya keluarga dan temanku yang datang menghampiriku, sekedar untuk berfoto dan memberiku bunga kelulusan.
“kak Hasan, Ayah mana?” tanyaku