Sudah satu bulan aku tinggal di tahun 1980, dan waktuku benar-benar hampir habis untuk tetap bersama ibuku. Sampai saat ini aku masih bingung dengan keputusanku, aku tidak mengabaikan ataupun menyetujui keadaan yang sedang aku hadapi sekarang. Apalagi dengan seringnya melihat ayahku datang ke rumah ini membuat hatiku goyah menilai perilakunya. Di dalam hatiku yang terdalam, aku berharap jika ayahku tidak menikah dengan ibuku mungkin ia tidak akan sakit, ia tidak akan koma dan terbaring tak berdaya di rumah sakit. Dan juga ibuku mungkin masih hidup dan tidak akan menderita ketika menikah dengan ayahku. Tapi apakah dengan perpisahan mereka, takdir mereka akan ikut berubah?.
“Na, sudah siap?” tanyanya
“udah Tar, tinggal menunggu mas Mawan untuk datang ke sini mengantar kita” jawabnya senang
“tempatnya jauh?” tanyaku
“sekitar 2 KM kok, aku pernah ke sana bersama Anggi dan Mas Mawan juga. Pokoknya kamu tidak akan rugi ketika melihat air terjun di desa kami. Tidak kalah bagus dengan wisata yang ada di kota” jawabnya bersemangat.
Kami berdua berjalan bersamaan, aku melihat Ayahku dan Opa berjalan di depan. Mereka mengobrol dan sesekali melihat ke arah belakang untuk memastikan kami berdua ada di belakang mereka.
“Tari, aku boleh menanyakan sesuatu?” tanyaku ragu-ragu
“boleh, mau menanyakan apa?” jawabnya santai
“mengapa kamu begitu mempercayai Mawan? Apakah kamu tidak takut jika nanti dia mengkhianati kamu?” tanyaku khawatir
“aku mempercayai mas Mawan, begitupun sebaliknya. Menghianati? Aku tidak berpikir seperti itu, karena dengan dia memutuskan menjadi guru tetap di sini aku sudah mempercayainya” jawabnya yakin
“kamu yakin masa depan kamu akan bahagia jika menikah dengannya?” tanyaku kembali
“aku belum pernah berkunjung ke masa depan, Na, jadi aku hanya bisa mempersiapkan masa depanku dengan mas Mawan sebaik mungkin” ungkapnya kembali
“tapi mengapa kamu menanyakan hal itu padaku?” tanyanya curiga
“hmm, aneh ya? padahal itu masalah peribadi kamu ya” jawabku kikuk
“engga kok, aku hanya berpikir kamu terlalu banyak memikirkanku, meskipun kita baru saling mengenal, aku merasa sudah mengenal kamu dari dulu. Aneh bukan karena berpikir seperti itu? Aku pikir kita berdua memang ditakdirkan untuk bertemu” jawabnya sambil memeluk lenganku
“terkadang kita tidak tahu takdir mana yang akan menunggu di depan, apakah takdir itu baik atau tidak untuk kita, bahkan untuk menghindari takdir baik pun kita tidak bisa” jawabku
“bukanlah lebih baik menghadapinya daripada menghindarinya? Terkadang dengan menghindarinya hanya membuat kita lebih kelelahan. Meskipun sulit, akan lebih baik jika menghadapinya, hasilnya akan kita ketahui ketika kita sudah mengalaminya”
“Tar, seandainya, kamu mengetahui masa depan dan diberi kesempatan untuk menghindari takdir yang buruk apakah kamu akan mengubahnya?” tanyaku
“hmmm, jika itu aku, aku tetap akan menghadapinya. Tidak ada jaminan jika aku mengetahui masa depan, masa depanku akan bahagia. Aku merasa setiap jaminan itu akan tetap beresiko ” ucapnya begitu yakin
“pikiran kamu benar-benar sederhana” ungkapku
“karena aku membuatnya sederhana, aku tahu bahwa aku dan mas Mawan masih belum mendapatkan restu dari orangtuanya. tapi bukan berarti aku harus menyerah kan? Aku juga tidak tahu apakah kehidupanku akan bahagia jika aku tetap bersama dengan Mas mawan. Ketika aku memikirkannya itu menyulitkan hatiku. Jadi aku pikir aku hanya perlu mengkhawatirkan hari ini. Untuk esok, aku akan memikirkan esok. Bukankah jika kita berpikir seperti itu setiap harinya akan lebih bermakna. Memang merencanakan tidak ada salahnya, tapi jika kita hanya menggantungkan hidup pada rencana bukankah itu berlebihan, karena rencana bisa berubah kapan saja” jelasnya panjang
“benar, kamu memang Tari yang aku kenal” ucapku sambil tersenyum
Desiran Angin membuatku sadar akan indahnya alam dan pemandangan yang bisa kulihat hari ini. Dingin, pikirku, bukan air yang tersasa dingin tapi hati dan pikiranku terasa dingin. Aku memikirkan perkataan Tari bahwa masa depan bukan sekadar rencana yang terencana. Selama aku hidup, aku selalu merencanakan masa depanku. Meskipun rencanaku masih jauh dari kesempurnaan. Tapi aku tetap merencanakan hidupku. Aku selalu khawatir dengan hari ini dan mencemaskan hari esok. Bahkan aku selalu menyimpan rasa dendam akan masa lalu orangtuaku. Tapi ketika aku mengenal mereka berdua secara langsung. Pemikiran pemikiran itu menjadi samar dan pelan pelan melebur seperti debu.
“Na, kamu mau duduk duduk aja, kenapa ga ikutan main air sama mereka berdua?” Tanya Opa
“aku nanti jadi nyamuk, Opa” jawabku
“sekali lagi kamu memanggil saya dengan sebutan Opa, padahal saya belum terlalu tua” ungkapnya sambil tertawa
“engga maksduku bapa” jelasku mengoreksi
“yah tidak apa-apa, senyamannya kamu saja, Na ketika memanggil bapa”
“terimakasih kalau begitu, bapa” ucapku mengamini
“di kota kamu sudah pasangan?” tanya Opa tiba-tiba
“kenapa bapa bertanya seperti itu? Aku kan jadi kaget” jawabku kaget sambil malu-malu
“kenapa kaget? yah bapa penasaran saja, kamu bilang usia kamu sudah 27 tahun, kalau menurut bapa itu sudah usia matang untuk menikah” Nasihatnya