About You, About Your Hope

Indira Raina
Chapter #13

HARGA KEHIDUPAN

Aku melihat ibuku terbaring di kamarnya, sudah dua hari ia tidak keluar kamar. Ia hanya menghabiskan waktu dengan mengajar dan berdiam diri di kamar. Suasana rumah pun mulai dingin dan hambar, tidak ada lagi candaan atau hal-hal yang biasa menyenangkan. Semenjak kedatangan tante Ratih, rumah ini pun kehilangan cahayanya. Apakah aku bisa mengubah takdir mereka semua?.

“maksud kamu apa aku bisa mengubah masa depan mereka?” tanyaku kembali

“jika kamu mengubah masa depan mereka, kamu tidak akan ada di masa depan mereka” ucap Ruru

“maksud kamu apa, Ru?” tanyaku semakin kebingungan

“jika kamu berusaha memisahka mereka, masa depanmu yang akan berubah” jelasnya lagi

“terus mengapa kamu memberikanku kesempatan seperti ini padaku? Apakah kesempatan yang kamu berikan hanya lelucon dan ejekan untukku?” jawabku marah

“Na, aku sudah bilang, kesempatan yang aku berikan adalah keinginan terdalam hatimu. Waktumu tinggal tujuh hari lagi di sini, dan di hari ketujuh kamu harus memutuskan, apakah kamu akan menggunakan kesempatan ini atau mengabaikan kesempatan ini”

“bahkan kamu begitu kejam padaku, Ru” jawabku pelan

“aku bukanlah orang yang serakah, Na. jadi cobalah untuk menjadi tak serakah” ucapnya menghilang

Aku mengingat perkataan Ruru yang membigungkan, apakah aku siap untuk tidak ada di masa depan mereka. Apakah ketika aku mengubah masa depan mereka, mereka akan bahagia dan menemukan jalan mereka masing-masing.

“mengapa kamu hanya terdiam di sini, Na” tanya Opa

“ohhh aku hanya sedang melihat matahari pagi” jawabku singkat

“kamu tidak kemana-mana? Ini bukannya hari libur kamu” tanyanya lagi

“tidak, aku hanya akan tinggal di rumah saja, apalagi dengan kondisi Tari yang seperti itu” ucapku sambil melihat ke dalam rumah

“Na, boleh bapa minta bantuan kamu?” pintanya

“apa?” tanyaku sedikit khawatir pada Opa

“ajak Tari keluar, semenjak kedatangan kakaknya Mawan, Tari jadi sering menangis. Bisakah kamu menghiburnya?” pinta Opa padaku.

Aku mengangguk sambil melihat kepergian Opa ke dalam rumah. Rumah yang awalnya begitu hangat berubah jadi dingin. Kesenangan yang biasanya jadi bahan tertawaan terasa kering oleh kepiluan. Bahkan ibuku yang tangguh bisa kalah oleh rasa patah hati.

“mengapa kamu mengajakku ke sini?” tanya Tari

“Tari, kamu ingat, aku pernah bertanya mengapa aku menyukai langit. Karena dengan menatap langit aku bisa merasa tenang dan lega” jelasku

“tapi tidak dengan hari ini” jawabnya sedih

“cobalah, tatap langit untuk hari ini saja” pintaku sambil memegang tangannya

Ia menatap langit dengan wajah yang menyedihkan. Ia memejamkan mata dan merasakan angin yang berdesir di pipinya. Dengan rasa pilu, aku terus menggenggam tangannya dan berkata “aku harap kamu selalu bahagia dan tidak mendapatkan penderitaan”. Ia hanya menatapku penuh harus dan memelukku.

“setidaknya, aku masih ditemani oleh teman yang peduli kepadaku” ungkapnya terharu

“Tari, janganlah bersedih untuk orang-orang yang berbuat jahat padamu, aku pikir lebih baik kamu membatalkan rencana pernikahanmu dengan Mawan” pintaku

“mengapa kamu berkata seperti itu?” ucapnya sedikit kecewa padaku

“Anggap saja aku adalah penjelajah waktu dan mengetahui masa depan kamu. Aku pikir kamu tidak akan bahagia jika menikah dengan Mawan” ucapku meyakinkan

“kamu berkata seolah-olah kamu sudah melihat penderitaanku, Na” jawabnya tak percaya

“anggap saja aku pernah melihatnya. Aku ada disampingmu sekarang untuk mencegah semua itu terjadi. Akan sia-sia rasanya jika kamu mempunyai kehidupan yang menyedihkan, dan itu akan membuat orang-orang terdekat kamu pun ikut menderita. Coba kamu bayangkan? Jika kamu menikah dengan Mawan dan sikap keluarganya masih seperti itu. bagaimana nasib anak anak kamu? mereka akan tumbuh terhina oleh keluarga mawan” ucapku tegas

“mengapa kamu seyakin itu?” tanyanya lagi

“aku tidak berusaha meyakinkanmu, hanya saja aku membantumu menemukan jalan keluar dari masalah yang kamu hadapi” ucapku

“kamu tahu, ketika kakak Mawan datang, kamu memarahinya bahkan sampai mengusirnya, aku begitu kagum padamu, kamu dengan percaya diri mengatakan apa yang ada dalam pikiran dan hatimu. Sedangkan aku hanya bisa menangis menerima perkataannya. Aku pikir jika aku dihadapkan pada suasana itu lagi, apakah aku akan terus menerus diam atau membela diri seperti yang kamu lakukan kemarin”

“Tari” panggilku lirih

“aku mencintai Mas Mawan, Na. Aku pikir masa depan setiap orang bisa berubah kapan saja, tapi cinta seseorang tak mudah berubah begitu saja” jelasnya pilu

“Cinta? Apa hanya itu kamu yang kamu pikirkan, Tar” ucapku kembali meyakinkan

“terdengar konyol bukan. Manusia memang aneh, ia sudah tahu bahwa masa depannya tidak akan mudah tapi ia masih bertahan dengan apa yang ia yakini benar”

“Tar, aku hanya tidak ingin kamu menderita. Apalagi Mawan sudah dua hari tidak berkunjung ke sini, aku yakin dia pasti sudah menyerah” yakinku pada Tari

“aku yakin dia akan datang, dan akan memenuhi janjinya padaku”

“kamu tidak akan tahu, bagaimana jika sifat Mawan bisa berubah di masa depan? dan ketika kamu mengtahuinya, kamu akan berpikir itu sudah terlambat” ucapku

“aku tahu tapi sebuah keterlambatan bukan berarti sebuah kesalahan yang akan terkenang selamanya” ucapnya kembali membela Mawan

“mengapa kamu begitu kerasa kepala, mengapa kamu mempercayai orang yang jelas-jelas tidak bisa diandalkan seperti Mawan” ucapku jengkel

“kamu juga keras kepala, kalau dipikir-pikir kita mirip ya?” jawabnya sambil tersenyum

“kamu masih bisa tersenyum dengan keadaan seperti ini?” kesalku

“Mas Mawan bisa mengandalkanku dan aku bisa mengandalkanmu” ucapnya sambil tersenyum

“jangan mengandalkanku tapi percayai semua kata-kataku Tari” ucapku mulai kesal

“kamu benar benar teman yang bisa aku andalkan, Na. aku yakin orangtua kamu pasti bangga mempunyai anak yang tangguh dan berani seperti kamu” ucapnya sambil memelukku

“aku berharap orangtuaku seperti kamu, Tari” balasku memeluknya

“itu tidak mungkin, usiaku saja lebih muda dari kamu. mana mungkin aku menjadi orangtuamu” jawabnya sambil menepuk-nepuk punggungku

Sore itu aku masih belum bisa meyakinkan ibuku, aku belum bisa membuatnya percaya bahwa masa depan dirinya dalam bahaya jika ia tetap pada pendiriannya untuk tetap bersama dengan ayahku. Meskipun keputusanku akan membuat diriku menghilang di masa depan, aku tidak keberatan sama sekali. Aku tidak akan menyesali itu semua.

“kamu benar-benar tidak akan menyesalinya?” Tanya ruru tiba-tiba berada disampingnya

“aku bahkan sudah tidak kaget lagi dengan kedatanganmu yang selalu tiba-tiba”

“kamu tidak takut dengan keputusanmu?”

“kehilanganku tidak akan berdampak banyak bagi orang-orang”

“mengapa kamu begitu yakin?” tanyanya menatapku

“aku hanya meyakinkan diriku dengan kesempatan yang kamu berikan. Aku tidak mengerti makna kesempatan darimu, tapi yang kumengerti adalah kesempatanku adalah menyelamatkan ibu dan ayahku agar berpisah dan bisa menemukan kebahagiannya masing-masing”

“semuanya terserah kepada keputusanmu” ucap Ruru menghilang

           *******

Setiap pagi aku melihat ibuku duduk di meja depan rumah, ia berharap ayahku bisa datang untuk menemuinya tapi ia tak kunjung datang. Aku pun sering melihatnya menangis, bahkan ketika mengajar di sekolah pun ia tidak bisa berkonsentrasi. Meskipun itu menyakitkan, itu lebih baik karena dengan terpisahnya mereka, masa depan mereka akan berubah.

“Na” panggil seseorang dari kejauhan

“itu suara ayah” sambil menoleh ke arah belakang

“Nirna, aku boleh minta tolong padamu?” pintanya serius

“untuk apa kamu ke sini? Bukankah kamu kembali ke kota?. Apalagi setelah kejadian kakak kamu datang, keluarga Tari sangat terluka” ucapku marah

“aku tahu, aku ke sini karena aku mencintainya. Aku tidak peduli keluargaku akan memberiku restu atau tidak tapi aku tidak bisa hidup tanpa Tari?” ungkapnya

“kamu benar-benar pembohong, dengan adanya kamu di samping Tari kamu akan membuat hidupnya semakin menderita. Masa depan kamu pun tidak akan bahagia. Lebih baik kamu mencari wanita lain saja” pintaku sambil memalingkan wajah

“aku tidak mau, Na. tolong bantu aku. Katakan pada Tari, aku menunggunya besok di tempat pertama kali kami bertemu, aku akan menunggunya” pintanya memohon

“mengapa kamu tidak menyampaikannya sendiri?” tanyaku kembali

“aku dari rumah Tari tapi ibunya mengusirku, dan aku belum sempat bertemu dengan Tari, tolong, sampaikan pesanku pada Tari” pintanya bersujud

Aku melihat punggung yang putus asa dari belakang, ia berjalan asal dan menoleh terus menerus ke arahku. Aku sudah memutuskan bahwa aku tidak akan menyampaikan pesan itu pada ibuku. Di masa depan ibuku akan meninggal dengan tidak adil, kami berempat akan diabaikan, dan ayahku terbaring koma di rumah sakit. Aku tidak akan menyesalinya keputusanku hari ini.

Aku menatap layar ponsel yang masih menyala, aku melihat foto-fotoku bersama keluarga dan teman-temanku. Aku pikir ini adalah kali terakhir aku bisa menatap mereka. besok adalah hari terakhir aku akan ada di dunia ini. Mungkin inilah harga sebuah kehidupan yang harus aku bayar. kehidupanku selama 27 tahun akan terbayar oleh kebahagiaan ayah dan ibuku. Meskipun di masa depan kami tidak akan bertemu.

Aku menatap wajah Dipta dan Agung. Aku akan merindukan mereka, ketika masa depan berubah apakah mereka masih berteman? Apakah mereka masih tidak akur di masa depan? Dan apakah mereka akan meridukanku meskipun aku menghilang.

“Nirna” sapa Tari duduk disampingku

“kamu lagi apa? Dan itu sebenarnya apa?” tunjuknya ke arah handphoneku

“aku sudah bilang, ini teknologi dari masa depan, kamu akan merasakannya di masa depan nanti” jelasku sampil tersenyum

Lihat selengkapnya