9 Tahun yang lalu, aku menatap seseorang yang sedang berlarian di kampus, aku pikir aku hanya menjadi penonton mereka, ternyata, baik aku maupun mereka, sama-sama saling menonton kehidupan sederhana masing-masing. Aku, dan kisah 9 tahun kami akhirnya menjadi memoar. Memoar yang tak henti untuk di kenang, dirasa, dan di maknai dengan rasa syukur.
****
Siang ini cuaca sangat cerah, tapi hatiku masih mendung. Aku menatap banyak orang yang lalu lalang, melihat mahasiswa yang sibuk membuatku penasaran tentang mereka. Ada yang hanya tiduran di bangku biru, ada yang sedang membicarakan pacarnya, ada juga yang asyik membicarakan tugas kuliahnya dan ada juga yang hanya diam sepertiku yang mengamati dari kejauhan. “mereka sibuk sekali ternyata” pikirku. Di tempat seluas ini, aku hanya duduk sendiri sambil menatap langit dengan awan berwarna biru. Berhadapan langsung dengan panggung Out door kebanggaan fakultasku.
Panggung yang berwarna biru selalu ramai oleh mahasiswa, baik yang sedang latihan kabaret, dance, atau paduan suara. Melihat kesibukan mereka membuatku merasa sibuk juga. Dari kejauhan aku melihat dua orang laki-laki yang sedang saling mengejar, aku melihatnya dengan heran, mengapa dengan badan besar dan rambut gondrong, mereka seperti bocah yang kehilangan permennya.
“Sini ga lo?” teriak laki-laki yang memakai kacamata
“ogah” jawab pria dengan rambut gondrong
“Gung, lo keterlaluan, baju gue masa iya dijadikan pel” Teriaknya kembali
“Dipta, salah lo sendiri tuh baju kenapa ada di lantai, ya gue pikir itu pel” jelasnya
“Sini ga lo!” teriaknya kembali
“larii..... ada singa” jawabnya sambil meledek
Aku tersenyum mendengar percakapan mereka, mengapa mereka bertengkar seperti anak TK gegara baju yang jadi pel. Melihat mereka berdua menghiburku, sudah 6 bulan aku kuliah di sini, tetapi aku masih belum mempunyai teman dekat. Melihat banyak orang bersenda gurau, membuatku iri. Mengapa orang-orang begitu mudah berteman dan mengapa aku begitu sulit berteman dengan orang lain?.
“Hai....Mahasiswa baru?” tanya seseorang tiba-tiba padaku
“iyahhhh.....” jawabku ragu
“kalau kosong sini ikutan, lagi ada seminar buku di Aula kampus, masih kekurangan orang, ikutan ya, bantuin kita ya” pintanya
“hmmmm tapi....” jawabku seraya menolak
“please.... bantuin kita ya” jawabnya memohon
“hmmm ya udah, boleh” jawabku singkat
“makasih.... namanya siapa dek?” jawabnya kembali
“Nirna” jawabku
“aku Imey, panggil aja Mey” jelasnya
“oke kak mey” jawabku
“kalau begitu, yuk, cepetan, bentar lagi mulai” ajaknya sambil menggandeng tanganku
Tanganku di genggam erat oleh kak Mey, ia tidak hanya menggenggamnya, tapi ka Mey menarikku sampai ia berhenti tiba-tiba dan aku menabrak punggung ka Mey.
“Dipta, lo ga ada kelas kan? Ikut gue sini?” panggilnya sambil menyeretku ke arah laki-laki yang ia panggil
“kenapa kak mey manggil gue?” tanyanya
“ikut gue jadi peserta seminar ya, masih kekuragan orag nih, tenang ntar gue traktir nasi gila di kantin belakang” jelasnya
“yang bener? Biasanya suka boong nih” kesalnya
“ga boong, beneran, yang penting ikut gue dulu” ia langsung mengenggam tangan Dipta
“eh..ehhh.. apaan nih main bawa-bawa aja, gue sibuk kak, “ jelasnya
“udah ikut aja, sekali ini aja” jelasnya sambil menarik kami berdua
Aku menatap laki-laki yang masih berusaha lepas dari genggaman kak Mey, aku mengenalnya, bukankah dia laki-laki yang tadi mengejar temannya. Karena aku menatap laki-laki itu, dia pun menatapku kembali dengan senyuman. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah lain karena malu ketika mata kami saling bertatapan.
“oke, Dipta lo jagain ni cewek” jelas Kak Mey
“gue?” jawabnya sambil nunjuk ke wajahnya
“nama lo tadi siapa?” tanya kak Mey kembali
“Nirna”
“oke lo jagain Nirna ya, di dalam pasti banyak orang ga dia kenal, masih Maba soalnya” jelasnya sambil mau pergi
“Kak, gue juga Maba kali”
“Beda Maba kalo ini, jagain ya” jelasnya sambil pergi
“Hmmm aku bisa jaga diri sendiri, kak Mey juga minta bantuan aku tadi buat jadi peserta ini, jadi kamu ga usah jagain aku” jelasku sambil menuju ke Aula
Aku berjalan menuju ke dalam ruangan dengan ragu, ketika masuk banyak sekali orang-orang. Aku sembpat kebingungan karena banyak sekali orang yang berjalan keluar masuk. Bahkan ketika aku sedang berjalan, aku tertabrak oleh seseorang yang membuatku kaget karena hampir jatuh
“Lo gak apa-apa” tanya Dipta kembali
“ayo, kita duduk di sana saja” jelasnya sambil menggandeng tangaku
Ini pertama kalinya tanganku digandeng oleh seorang laki-laki, laki-laki asing yang pertama kali menjagaku ditengah keramaian banyak orang. Selama kami duduk bersebelahan, dia pun tak banyak bertanya. Ia hanya menatapku seolah memastikan bahwa aku tidak apa-apa berada di tengah keramaian ini.
“tadi nama kamu Nirna kan?” tanyanya mengawali percakapan
“iya” jawabku singkat sambil menunduk
“Dipta” jawabnya sambil mengulurkan tangannya
“aku sudah tahu” jawabku sedikit cuek
“tapi kan kita berdua belum salaman” jawabnya sambil menyalami tanganku
Aku menatapnya begitu heran, laki-laki ini sangat aneh, mengapa dia sok kenal padaku? apakah dia benar-benar laki-laki yang baik. Selama kami di dalam aula, ia bertanya banyak hal sampai akhirnya ia bertanya kepadaku tentang beberapa buku yang aku sukai, aku hanya menjawab beberapa buku yang aku tahu saja, karena aku tak terlalu sering membaca buku.
"lo pernah baca buku 5 CM ga?" tanyanya antusias
"pernah, bukunya bagus juga" jawabku singkat agar ia berhenti menanyaiku
"baguskan, gue suka banget, apalagi tahun ini katanya filmnya rilis lho" jawbanya kegirangan
"yang bener?" jawabku kaget
"beneran, gue ga bayangin bakal sekeren apa filmya" jawabnya kegirangan
"ya, kalo bagus" jawabku ragu
"jangan pesimis dulu, Na. Film laskar pelangi aja bagus kok, adaptasi novel juga kan"
"udah nonton juga?" tanyaku penasaran
"udah dong, lo udah nonton?" tanyanya kembali padaku
"udah kok, bagus dan mendidik juga filmya"
Seminar yang kami ikuti hampir selesai, tetapi kami berdua malah asyik mengobrol tentang beberapa novel yang pernah kami baca. Aku pikir, laki-laki yang ada di sampingku ada laki-laki yang menyebalkan tetapi laki-laki ini memberiku warna baru untuk perjalananku. Dengan serius, aku mendengarkan pengalaman demi pengalaman yang ia ceritakan kepadaku, dia bercerita bahwa buku yang ia baca selalu memberikan suatu pengalaman yang baru dan fresh.
"Na, nanti kita nonton bareng filmnya, pasti seru banget filmnya, percaya deh sama gue" jelasnya padaku
"gimana nanti aja" jawabku
"Nirna..." panggil seseorang padaku
"Na, kemana aja sih? aku cariin" tanyanya
"aku tadi ikutan semiar buku di sini. ada apa?"
"kita berdua harus ikutan ini, pasti seru banget" jelasya sambil mengeluarkan brosur
"Pecinta Alam?" tanyaku agak kaget
"engga..engga.., aku ga ikutan ginian, Lan" jawabku sambil berlalu pergi
"Na..." tanyanya sambil mengenggam tanganku
"apa?" jawabku sambil melihat tanganku yang dipegang oleh Dipta
"jangan lupa filmnya rilis desember, ya" ingatnya
"aku pergi dulu" jawabku sambil pergi
"Nirna.... kita berdua harus ikutan pecinta alam" rengeknya
"engga..engga" jawabnya
"Nirna, pleasee..." rengeknya sambil menggandeng lengannya
"sekali engga, engga, Lan" jawabku sambil menyenggol pinggul Lani
Dipta hanya menatap kepergiaan gadis yang baru ia kenal, gadis pendiam namun ceria, gadis pesimis namun periang. Dipta hanya tersenyum manis melihat kepergian Nirna. Ia penasaran, apakah dia akan bertemu lagi dengan gadis itu atau pertemuan mereka hari ini hanyalah sebuah perpisahan semata.
"kenapa lo bengong?" tanya kak Mey
"kak, gadis yang tadi lo ajak, jurusan apa?"
"mana gue tahu, gue cuman minta tolong sama dia, soalnya akn pesertanya kurang"
"yahhh gue kira tahu" jawabnya kecewa
"Naksir ya?" tanya Kak Mey
"gue ga naksir, cuman penasaran aja" jawabnya ngeles
"sama aja" jawab kak Mey sambil memukul pundak Dipta
Sore itu, matahari begitu panas, wajahku sudah penuh keringat. Aku menatap brosur yang diberikan Lani padaku, aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku harus mengikutinya? atau aku harus mengabaikannya. Karena ikutan hal seperti ini akan melelahkan untukku yang lebih menyukai ketenangan. Tetapi, aku tidak enak menolak ajakan Lani, aku yakin Lani sangat berharap agar aku juga ikut.
"terkadang aku merasa kasihan pada keinginan orang lain, tapi aku tak pernah sadar bahwa keinginanku pun tak kalah penting dengan keingin orang lain" gumamku
"kalau begitu ikutan aja dulu" ucap seseorang yang tiba-tiba ada disampingku
"kamu..." jawabku kaget
"Na, lo ga akan tahu seberapa penting keinginan lo kalo lo ga nyoba sendiri" ucapnya
"Sok tahu" jawabku meninggalkannya
"Na...." panggilnya
Mata kami saling betatapan, aku bisa melihat jika tatapannya penuh penasaran kepadaku. Tatapannya tak bisa aku artikan, tatapannya begitu hangat, tatapan yang tak pernah aku lihat selama ini. Anehnya, aku bisa melihat ketulusan didalam matanya. sebenarnya siapa laki-laki ini? mengapa dia menggangguku seperti ini.
Aku mninggalkan laki-laki itu begitu saja, meskipun kata-katanya cukup menggangguku tapi aku berusaha tidak memedulikannya. Aku hanya ingin kuliah dengan tenang, tanpa harus mengkhawatirkan orang lain. hidupku sudah cukup sulit, jadi aku tak mau menambah masalah apapun lagi.
Aku menatap langit yang gelap oleh malam, aku tak melihat bintang sama seklai. Dalam kamar berukuran 3x3 meter ini aku merasa bosan, aku membuka buku demi buku tapi aku tetap bosan. Sampai sebuah telepon mengangetkanku
"Hallo kak, ada apa malam-malam begini nelpon aku" jawabku agak cetus
"kamu sehat, Na" tanyanya
"Sehat"
"udah makan?"
"udah"
obrolan kami seperti robot, aku hanya menjawab apa yang kakakku tanyakan. Meskipun ada susasa hening sampai kakakku kembali pertanyaannya.
"Na, Ayah kayaknya lagi sakit, kamu mau ikut nengok?" tanyanya hati-hati
aku terdiam sebentar ketika kakakkmu berbicara tentang ayahku
"Na, kamu mau ikut nengok?" tanyanya kembali
"engga" jawabku ketus
"mau nitip pesan ke ayah ga, Na?" kakakku mecoba dengan pertanyaan lain
"engga" jawabanku masih sama
"kamu marah sama ayah"
"engga"
"Na..." panggil kakakku kecewa