"Sa, tadi lo ketemu sama Arfan di lapangan sekolah?” tanya Jeni; perempuan berambut panjang yang langsung duduk di samping kursiku begitu aku menyimpan tas ranselku di atas meja.
“Arfan?” kataku bingung.
“Itu loh, cowo yang sering bermasalah di sekolah kita akhir-akhir ini.”
“Oh, Arfan itu. Iya, soalnya gue sama Dhea di hukum bareng gitu sama pak Uus. Kenapa?” tanyaku sambil mengeluarkan peralatan menulisku.
“Elo nggak digangguin sama dia, kan?” tanyanya kembali.
“Nggak, emangnya kenapa sih, Jen?” tanyaku kembali bingung sekaligus penasaran.
“Jangan sampai deh elo diganggu sama manusia satu itu. Soalnya, Arfan itu terkenal banget sebagai si pembuat masalah di sekolahnya dulu,” tuturnya menjelaskan.
“Sekolahnya dulu? Maksudnya?” tanyaku masih tak mengerti.
Jeni memperdekat jarak duduknya denganku. Ia setengah berbisik dan mulai menceritakan Arfan, pria berwajah sangar yang tadi bertemu denganku di lapangan sekolah.
“Elo nggak tahu gosip akhir-akhir ini, yah?” tanyanya sambil menatap wajahku hingga membuatku dengan cepat langsung menggelengkan kepala.
“Arfan itu siswa pindahan. Dia itu baru masuk sekolah kita di pertengahan semester 1 kemarin. Katanya gossip yang beredar, dia itu biang keributan di sekolahnya dulu. Preman sekolah, sering keluar-masuk ruang BP dan sering bermasalah gitu. Pokoknya, jangan sampai lo diganggu sama dia. Bahaya, Sa.”
“Bahayanya kenapa? Emangnya dia penjahat?”
“Orang yang sering bermasalah sama dia pasti bakalan berakhir di rumah sakit, Sa. Jadi, elo harus jauh-jauh dari cowo kaya Arfan itu.”
“Masa sih, Jen?” tanya Dhea yang sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Iya, gue kata anak kelas sebelah. Terus yah, yang mesti kalian tahu itu adalah katanya si Arfan suka kencan sama tante-tante berlipstik merah.”
“Hah? Masa, sih?” teriakku dan juga Dhea yang sangat terkejut dengan apa yang baru saja Jeni ceritakan.
“Serius gue. Masa iya gue bohong sama kalian.”
Begitu mendengar cerita dari Jeni, aku langsung manggut-manggut tanda mengerti. Pantas saja wajahnya kelihatan sangar gitu, ternyata dia memang sering membuat masalah di sekolahnya terdahulu. Sudah kubulatkan tekad, akan aku jauhi pria macam Arfan itu.
Saat jam istirahat, aku bersama kedua temanku; Dhea dan juga Jeni makan siang bersama di kantin sekolah. Baru saja kami duduk dan hendak memakan makanan kami, tiba-tiba saja keributan mulai terjadi begitu si pria berwajah sangar alias Arfan itu datang dengan sekelompok teman-teman premannya.
“Dih, si Arfan lagi!” kata Jeni saat melihat Arfan dengan teman-teman satu gengnya.