Setelah hukuman mandi dengan air sedingin es, Arumi membiarkan Gibran untuk mengeringkan badannya dan membiarkannya makan, setelah itu, Gibran harus mengerjakan tugas sekolahnya hingga makan malam tiba.
Tidak ada waktu untuk main, tidak ada kata yang penuh kehangatan ataupun sentuhan keibuan yang dapat membuat Gibran setidaknya merasa kalau dirinya berarti sesuatu untuk ibunya.
Pada jam makan malam, ayahnya akan pulang dan mereka akan makan malam bersama. Bukan tipikal makan malam penuh canda dan tawa atau sekedar bertukar cerita, karena yang ada hanyalah kehambaran suasana yang akan menemani setiap kelentingan bunyi sendok dan mangkuk yang beradu, yang akan mengisi kesunyian di meja makan.
|Pada saat itu, aku terbiasa berpikir kalau seperti itulah sebuah keluarga seharusnya|
Makan malam berlalu begitu saja, bahkan Darma, ayah Gibran, sama sekali tidak bertanya mengapa putranya sering kali bersin seperti seseorang yang terkena flu.
Mungkin saja beliau tidak begitu mempedulikan hal ini, sama seperti bagaimana dia tidak peduli pada banyak hal.
Gibran tidak protes, dia sudah terbiasa tapi… sesekali, hanya sesekali, Gibran berharap ada yang bertanya padanya.
Dan seperti itulah setiap makan malam berakhir di setiap malamnya.
Kini, Gibran sudah menarik selimut hingga ke batas dagu, bersiap untuk tidur walaupun sulit baginya untuk terlelap ketika hawa panas menjalar ke sekujur tubuhnya dan gigi yang bergemeletuk kedinginan.
Tapi, kemudian Gibran merasakan ada sebuah tangan dingin yang menyentuh keningnya. Tangan itu terlalu halus dan kecil untuk menjadi tangan ibu atau ayah, dan yang pasti tidak ada lagi penghuni rumah ini kecuali mereka bertiga.
Terkesiap, Gibran membuka matanya dengan tatapan waspada, wajahnya yang masih kekanak- kanakkan berkerut dengan campuran rasa was- was dan penasaran.
Tepat di hadapannya adalah sosok wanita muda dengan rambut panjang tergerai, mengenakan pakaian berwarna abu- abu, sewarna dengan kabut di kala hujan turun.
Sebuah senyum merekah di bibir wanita itu, menunjukkan gigi- giginya yang kecil, rapih dan putih. Seandainya dia adalah sesosok makhluk halus, maka dia adalah sosok hantu yang cantik dengan aura hangat yang membuat rasa takut Gibran, dengan aneh, menghilang begitu saja.
Yang tersisa kini, hanyalah rasa penasaran.
|Entah kenapa aku tidak takut pada sosoknya, walaupun besar kemungkinan dia adalah hantu. Dengan kulit putih hampir trasnparan dan kemunculannya yang tiba- tiba, merupakan dua poin yang mendukung gagasanku, bukan? Tapi rasa takut itu tidak berkembang. Aneh…|
Wanita muda itu menelengkan kepalanya, menatap bocah lelaki di hadapannya yang saking terkejutnya tidak mampu melontarkan sebuah tanya.
“Hai, Gibran.” Wanita itu mengangkat tangan dan tersenyum sangat ramah, menyunggingkan sebuah lesung pipi di tulang pipi, di bawah mata bagian kirinya.
Tempat yang aneh untuk sebuah lesung pipi, pikir Gibran.
“Kamu siapa?” akhirnya pertanyaan itu terlontar dari bibirnya dan sebuah kerutan samar muncul di antara kedua alis Gibran yang saling bertaut. “Bagaimana bisa kamu ada disini?”
Gibran kemudian melemparkan pandangannya ke arah pintu, yang mana masih tertutup rapat. Gibran sama sekali tidak mendengar suara pintunya yang berisik terbuka ataupun suara jendela.
Tidak mungkin dari sana, jendela itu terkunci rapat.
“Aku?” Wanita muda itu mengangkat alisnya dalam sebuah pertanyaan. “Aku…” dia bergumam dan bangkit berdiri, menjelajahi kamar Gibran yang kecil dan penuh sesak dengan berbagai macam tumpukkan buku, yang tidak mungkin akan dibaca lagi.
Gibran mengikuti gerakan wanita muda itu dengan matanya, masih tidak beranjak dari atas ranjang dan berpikir untuk lari ke kamar orang tuanya yang hanya terpisah dengan ruang makan.