Abstraksi Tanpa Asa

Nada Raudah Mumtazah
Chapter #3

Perkara Kecil

We were too naive to think it would last forever, and I still am,

─naramzh

***

Sewajarnya Alma tersenyum karena telah menduduki bangku yang ia sukai di kelas yang masih kosong ini, tetapi ia benar-benar tidak bisa memaafkan perlakuan laki-laki yang tidak ia kenali tadi. Gadis bertubuh kecil itu terus mengumpat sembari mengelus layar ponselnya─yang tentu saja dilapisi antigores. Ia memang tidak apik, tetapi ia baru saja mengganti antigoresnya minggu lalu.

Tepat ketika Alma membuang nafas kesal untuk ketiga kalinya, pintu kayu bernomor 401 itu terbuka.

“Eh Alma, duduk di situ lagi? Gak bosen?”Tanya seorang perempuan berkacamata dengan poni terbelahnya yang sangat dikenali Alma.

“Eh Lula, kamu juga gak bosen duduk sebelah aku?”Alma meniru pertanyaan Lula yang menaruh ranselnya di sebelah Alma.

“Nggak dong. Kamu kan baru masuk bimbel lagi akhir-akhir ini,”ujar Lula yang disambut dengan tawa Alma yang terdengar paksa.

“Aku bolos cuma beberapa minggu pertama kok,”ucap Alma singkat. Lula pun hanya mengiyakan. Lula pun membuka topik baru mengenai kejadian menyenangkannya di sekolah hari ni, sedangkan Alma mendengarkan.

Beberapa menit berlalu, dan pintu tua itu kembali terbuka. Sesosok jangkung berjaket abu yang amat familiar di mata Alma memasuki ruangan kelas itu. Alma terkejut melihatnya. Ia tidak tahu bahwa sang penabrak tak tahu malu itu merupakan teman satu kelasnya di Primary College, bimbelnya sejak awal semester.

Alma menatap tajam mata laki-laki tersebut. Sayangnya, laki-laki tersebut tampak tak menyadari dan duduk di kursi baris ketiga pojok kanan. Alma tertegun, ia tak menyadari sebuah tas tersangkut di kursi tersebut sebelum ia tiba di kelas barusan. Alma pun terus memperhatikan laki-laki yang kini menidurkan kepala di atas meja, serta ditemani sepasang earphone sehingga dunia pun terasa diabaikannya.

“Kenapa Al?”Tanya Lula sembari mengikuti arah pandang Alma.

“..Bukan apa-apa,”jawab Alma. Ia mengalihkan pandangannya kembali kepada Lula. Namun terlambat, Lula telah memasang mata berbinarnya karena penasaran dengan tatapan Alma yang berbeda terhadap laki-laki tersebut.

“Ada apa dengan Farraz? Kamu kenal dia? Atau jangan-jangan tertarik sama dia?”Tanya Lula bertubi-tubi yang membuat Alma terpaksa menjawab. Alma menggeleng cepat.

“Nggak. Aku baru tau namanya, dan baru bertemu dengannya sebelum masuk kelas. Aku pikir dia kakak kelas atau apalah,”ucap Alma dengan intonasi seakan-akan ia tidak peduli dengan Farraz. Sementara sebenarnya, ia sangat ingin mengorek informasi lebih lanjut mengenai laki-laki menyebalkan itu.

“Oh iya, dia emang suka bolos kayak kamu. Pantes aja kamu gak pernah liat. Kayanya seminggu sebelum kamu mulai masuk lagi, dia jadi gapernah masuk. Padahal waktu SMP dia gak pernah bolos selama ini,”cerita Lula yang diakhiri oleh bisikan. Alma mengangguk mengerti.

“Kalian sudah kenal lama?”

“Iya, aku sama dia udah jadi pelanggan setia Primary College sejak kelas 7,”Lula mengedipkan sebelah mata layaknya sedang mempromosikan lembaga ini. Alma tersenyum, Lula memang pantas menjadi model bimbel dengan otaknya yang luar biasa.

Tak lama, murid-murid pun berdatangan. Tepat pukul setengah empat, kelas pun dimulai.

***

Berbeda dengan instrumen yang dijadikan suara bel di sekolah, sebuah bel bernada singkat dan sederhana berbunyi menggema di keempat lantai gedung. Alma menghela nafas, ia merasa bodoh jika disandingkan dengan teman sebelahnya yang aktif ini. Ia pun mengeluarkan ponselnya. Ia memang belum memeriksa notifikasinya sejak tadi malam. Setiap kali ia akan memeriksa, selalu saja ada kejadian ataupun orang yang menghalanginya. Salah satunya adalah Farraz, laki-laki yang tak mengenalinya itu.

Kejadian-kejadian buruk yang tak sabar menimpa Alma pun mulai menghampiri.

“Alma, kenapa?”

Seperti mantra, air mata tiba-tiba saja mengaliri pipi Alma ketika ia mendapati sebuah foto yang dibagikan oleh Arsen di media sosialnya. Tangan Alma bergetar, ia merasa bodoh dan menangisi hal yang memalukan, tetapi ia bahkan tidak bisa menghapus air matanya sendiri. Ia menengok ke arah tembok agar Lula tak melihat wajahnya, tetapi ternyata Lula menyadari tangannya yang tak bisa diam di atas meja.

“Aku sakit perut, mau ke toilet dulu,”Alma bergegas berdiri meninggalkan ruangan, menyerobot orang lain yang berada di depan pintu. Tanpa disadari, orang yang diserobot itu memerhatikan punggung Alma yang tergesa-gesa.

***

Alma menuruni tangga dengan cepat, menyusul orang-orang yang ingin keluar untuk membeli jajanan. Berbeda dengan mereka, Alma memilih untuk tidak keluar dan memutuskan untuk berdiam diri di depan cermin besar di dekat kamar mandi lantai satu. Lantai satu hanya diperuntukkan untuk ruangan-ruangan kantor, sehingga kamar mandi pun tidak ramai oleh siswi-siswi yang senang menongkrong di depan kamar mandi.

Sialan, umpat Alma sembari menangis tertahan. Ia bahkan tak membawa selembar tisu untuk mengembalikan wajahnya yang berantakan. Yang ia lakukan saat itu hanya memblokir seluruh media sosial Arsen dan membalas satu-satunya pesan yang belum ia baca dari semalam, Sana.

Yesterday

23:38 Shabrina S : aku tau kamu gak baik2 aja

23:38 Shabrina S : kalau mau cerita, inget aku selalu ada

Today

15:15 Shabrina S : dimana?

Lihat selengkapnya