Abstraksi Tanpa Asa

Nada Raudah Mumtazah
Chapter #4

Bertukar Abstraksi

I wonder if people thought I gave them space.

I also wonder if they were ever struggling with this reality I am stuck in,

─naramzh

***

Penyesalan memang selalu datang terakhir. Alma tidak tahu harus memasang ekpresi apa ketika ia melihat sosok di hadapannya sedang melipat kaki di atas kursi. Sosok yang ia amati itu bahkan sedang mengulum permen sambil memejamkan mata.

“Kenapa gak masuk kelas?”Mendengarnya, Farraz membuka mata perlahan. Namun, ia sama sekali tidak melirik Alma yang kini berkacak pinggang.

“Percuma,”Farraz membuang tangkai lolipopnya. “Udah telat,”

Alma tidak habis pikir dengan situasi tersebut. Bisa-bisanya laki-laki itu tetap tenang setelah mengatakan hal tak pantas. Selain itu, mereka berdua berada di ujung lorong yang sepi. Siapa pun yang melihat mereka bolos bersama pasti akan berasumsi negatif.

Gadis yang kehilangan kata-kata itu terdiam. Ia segan untuk duduk lagi di sebelah Farraz, tetapi kembali ke kelas pun bukan pilihan yang tepat. Lebih dari tiga puluh menit terlewati, sedangkan ia tak memiliki alasan jika diserang oleh teman-temannya.

“Kenapa balik ke sini? Ketinggalan kopi?”Farraz memecahkan keheningan dengan pertanyaan yang tidak masuk akal. Sudah jelas, ia yang memberikan sekaleng kopi susu itu untuk Alma.

“Aku gak suka kopi,”sahut Alma. Farraz akhirnya menoleh, lalu terkekeh mendengarnya. Ia mengangkat kaleng biru tersebut dan menggoyangkannya.

“Tapi udah mau abis, tuh?”

“Gak suka bukan berarti gak bisa,”balasnya. Farraz hanya mengangguk dan tersenyum. Ia menaruh kembali kaleng tersebut di atas kursi. Hening pun kembali tercipta.

Sebelumnya, Alma berniat untuk menunggu laki-laki tersebut mempersilakannya duduk lagi di sebelahnya. Dua menit kemudian, ia tersadar bahwa itu tidak akan terjadi.

“..I want to stay here longer,

Farraz terlihat sedikit heran mendengar kata-kata Alma. “Nggak ada yang larang,”ucapnya mempersilakan. Alma pun akhirnya duduk dan melipat kakinya seperti Farraz. Farraz memerhatikan hal tersebut, kemudian akhirnya membuka mulut.

“Nama kamu siapa?”

Alma mengerutkan dahi dan menatap Farraz, yang malah memalingkan wajah. Alma tak menyadari gerak-gerik tersebut, tetapi ia menyadari sewajarnya Farraz memang tidak mengetahui namanya. Mereka baru bertemu, sedangkan Alma mengetahui sekilas informasi tentang Farraz dari Lula.

“Alma, Almahyra Calista,”Alma memberitahu nama lengkapnya. “Namamu Farraz kan? Lengkapnya apa?”

“Farraz Kalandra,”jawabnya. “Sebenarnya nama lengkap itu kan gak penting,”ia terkekeh.

“Tentu saja penting. Kalau aku butuh kamu buat bertanggung jawab atas sesuatu kan aku gak bisa cari Instagram kamu dengan ngetik ‘Farraz’ doang. Kamu gak tau berapa banyak manusia yang bernama Farraz di dunia ini?”cerocos Alma.

Farraz tertawa kecil. Di luar dugaan, laki-laki misterius ini ternyata mudah tertawa.

“Maaf buat ponselmu,”ucap Farraz akhirnya. Ia mengambil ponsel yang selalu ada di tangan kanan Alma. “Kena antigores ya? Mau aku ganti pulang bimbel?”

“Wow, aku gak menyangka kamu bakal minta maaf. Aku pikir kamu se-gaktaudiri itu,”ungkap Alma dengan jujur. Ia mengambil ponselnya kembali. “Gak perlu ganti, gak apa. Salah aku juga galiat tangga, dan di lajur yang salah. Lebih tepatnya sih, aku gak bisa kalo mau pulang bimbel. Ayahku yang jemput, dan aku gak boleh main malem-malem,”

“Kamu juga keliatan kayak anak pendiem dan baik-baik,”balas Farraz. “Padahal nggak,”

Hey, I am a good girl. Enak aja,”Alma melotot.

“Yaudah,”Farraz mengakhiri percakapan mereka yang tidak penting, lalu membuka topik baru.

“..oh ya, maaf juga,”ucap Farraz pelan.

Alma mengangkat sebelah alisnya. “Untuk apa?”

“Karena bilang kamu bodoh,”jawabnya ragu. Alma memutar ingatannya, lalu tiba-tiba wajahnya memerah mengingat apa yang telah ia ceritakan kepada Farraz. Ia semakin merasa bodoh dan malu.

“Gak apa-apa. Kamu bener,”ucap Alma tak kalah pelan. “Lagipula aku yang bilang kalo aku bodoh karena nangis, kamu cuman ngeiyain kan?”gadis itu terkekeh. Nada suaranya mulai berubah.

“Seharusnya air mata itu gak boleh dikeluarkan di depan orang lain,”Alma mendongak ke atas. Ia menahan tangis. “..apalagi kalau tentang sesuatu yang gak ada gunanya,”

“Bukan gak ada gunanya, maksudku banyak hal lain yang bisa dipikirkan buat ngehapus rasa sedih itu,”tutur Farraz yang merasa bersalah. Alma terdiam.

“Pasti kamu bener-bener suka dia,”ungkap Farraz akhirnya. “Cerita aja sampai lega kalau kamu mau, tentang apa pun, aku bakal dengerin,”

Alma menyeka matanya yang berkaca-kaca. Ia tersenyum. “Aku bingung kenapa bisa ngobrol nyaman gini sama kamu,”gumam Alma. Perlu beberapa detik sebelum Alma tersadar bahwa kata-katanya sedikit terdengar menggoda. “Maksudnya, enak gitu loh, nyambung, terus aku bisa terbuka kayak gini,”tambahnya sambil menggerak-gerakan tangannya.

“Kirain kamu emang ceplas-ceplos cerita ke semua orang yang baru kenal,”

“Yah, dugaanmu benar dan juga salah. Awalnya emang cerita udah jadi hobi banget buat aku,”Alma memulai ceritanya.

“Aku kurang bisa bersosialisi, jadi kalau ketemu orang baru, aku ceritain aja semua pengalaman aku yang pantes buat dikomentarin. Biar aku gak canggung, orang barunya juga gak canggung,”

“Itu namanya kamu bisa bersosialisasi,”komentar Farraz.

“Ah, kamu gak ngerti maksud aku. Aku tuh beneran gak bisa ngobrol tau. Malah, aku pernah jadi korban bullying gara-gara pendiem dan gak punya temen waktu kelas 3 SD, makanya aku nyoba buat capruk tiap ketemu orang,”

“Terus lama-lama jadi terbiasa, deh!”Alma tersenyum bangga. Farraz memerhatikan wajah Alma sebentar, lalu kembali memalingkah wajah. Pada detik tersebut, Alma tersadar bahwa Farraz tidak nyaman berkontak mata dengannya.

“Kenapa kamu gak pernah natap mata aku?”Tanya Alma. Ia memiringkan badannya agar dapat melihat wajah Farraz dari dekat. Spontan, Farraz memegang kepala Alma yang jauh lebih rendah darinya dan mengembalikannya ke tempat semula. Sayang seribu malang, Alma tidak sempat menemukan gurat merah muda yang tiba-tiba merona di pipi Farraz.

“..gak, kok. Lanjutin aja ceritanya,”

Alma mengangguk. Ia pun melanjutkan paragrafnya yang sempat terpotong.

“Masuk ke SMA Jaya, aku bolos di hari-hari pertama. Aku juga jadi males cari temen deket. Aku sering pulang cepat biar bisa ketemu Arsen. Ya, meski aku punya temen-temen ngobrol pas istirahat, tapi gak sedekat itu karena jarang main bareng pas pulsek,”

“Arsen menjauh, aku makin sering diem dan nangis. Cuma temen sebangku aku, Irisha yang tau. Temen-temen yang lain jadi makin jaga jarak sama aku, soalnya mungkin aku pasang ekspresi gak mau diganggu,”

“Oh ya, semenjak itu juga aku jarang ngebalesin chat temen-temen SMP aku. Aku tau persis mereka baik dan khawatir sama aku, tapi aku gak enak bergantung terus,”Farraz tampak termangu mendengar cerita gadis itu.

“..udah, deh. Coba sekarang kamu yang cerita masalah kamu apa,”tutup Alma.

“Gak punya masalah,”

“Yang bener aja. Berminggu-minggu bolos terus bilangnya gak ada apa-apa?! Dusta,”ujar Alma menghakimi.

Lihat selengkapnya