"Katanya mau nonton sampai mall tutup, kok sekarang malah keluar?" dengan bingung Ajeng mengikuti langkah Putra yang berjalan menjauhi bioskop.
"Bosen cuma duduk diem doang, jalan dikit nggak masalah kan? Lagian gara-gara ketemu lo, gue tadi batal beli buku."
Jika Ajeng ingat lagi, tadi di toko buku Putra terlihat sedang membawa cukup banyak buku, "Mau beli buku yang tadi?"
"Iya, lo juga?"
"Aku cuma lihat-lihat doang."
"Nggak modal bangat sih, ke toko buku cuma nyari yang plastiknya udah kebuka. Belilah biar pintar."
Memang benar sindiran yang Putra berikan, Ajeng tidak berencana membeli dan memilih untuk membaca buku yang kondisi plastiknya sudah terbuka saja.
Dia tipe orang yang baru membeli buku pelajaran saat sudah disuruh guru. Jika masih membutuhkan buku lain, sekolah punya perpustakaan yang bisa meminjamkan secara gratis. Selama ada alternatif dengan tidak menghambur-hamburkan uang secara berlebihan, lebih baik memanfaatkan apa yang ada kan?
Setelah kembali berada di toko buku, ternyata buku yang sebelumnya sudah Putra pilih masih berada di tempat yang sama seperti saat ditinggalkan, jadi Putra bisa langsung mengambilnya tanpa repot-repot harus mencari lagi.
Semua buku yang berada di tangan Putra adalah buku pelajaran, tebalnya beragam, dan harga totalnya pasti mencapai ratusan ribu.
Buku front office yang tadi sempat Ajeng pilih saja harganya 70.000, jika rata-rata buku yang dipilih Putra harganya tidak jauh berbeda, kemungkinan cowok ini akan mengeluarkan uang lebih dari lima ratus ribu.
Orang kaya mah bebas ya? Gampang bangat menghamburkan uang dalam sekali belanja.
"Lo mau beliin itu buat Ajeng?"
"Kenapa?" kurang fokus membuat Ajeng tidak mendengarkan pertanyaan dengan jelas.
Putra mengambil alih buku dari tangan Ajeng, "Gue yang beliin ini untuk Ajeng."
"Tunggu, jangan dibelikan, ini kan mahal," sebelum sempat buku itu bergabung dengan tumpukan buku yang dipilih Putra, Ajeng dengan cepat merebutnya kembali.
Putra mengernyit bingung, "Kok lo yang nolak sih? Kan gue yang mau membelinya. Lagian ini juga untuk Ajeng, bukan untuk lo."
Sebagai Amir, saat ini dia tidak punya hak menolak. Tapi sebagai diri sendiri, Ajeng tidak ingin merasa berhutang dengan dibelikan sesuatu oleh orang lain. Ditambah lagi orangnya adalah Putra.
Saat ini memang keadaan membuat Ajeng tidak bisa melarang Putra, tapi setidaknya masih ada cara untuk mencoba mencegah, "Ajeng nggak suka dibelikan barang mahal."
Putra kembali mengambil buku dari tangan Ajeng, "Yaelah nggak sampe jutaan juga harga barangnya, biasa aja kali, nggak usah pakai cemburu segala.”
Ajeng mengikuti Putra yang mulai berjalan menuju kasir, "Aku nggak cemburu kok. Aku cuma kasih tahu jangan dibelikan daripada ditolak.”
"Mustahil Ajeng nolak. Dia bukan tipe orang yang nggak menghargai pemberian orang lain. Lo nggak perlu menjelek-jelekkan Ajeng segala deh, gue udah tahu gimana sifatnya kok."
Tahu apanya? Ajeng nyaris tidak pernah menunjukkan sisi baiknya pada Putra, kenapa cowok ini memberi pendapat seenaknya sih? "Jangan berekspektasi terlalu tinggi padanya, dia nggak sebaik apa yang terlihat."