Ajeng sungguh tidak mengerti kenapa sekarang bisa berada di situasi aneh seperti ini. Kenapa masalah yang terjadi di antara Putra dan Arka harus melibatkan dirinya juga sih?
Tapi Arka yang sekarang duduk di sampingnya justru sedang tersenyum dengan sangat puas. Terlihat begitu senang telah berhasil membawa Ajeng kabur ke cafe.
"Kenapa aku harus dipaksa ke sini sih?" tanya Ajeng yang sungguh tidak mengerti dengan aksi pemaksaan ini.
"Gue pengen buat Putra kesal karena berhasil ngajak pacarnya jalan," dengan cuek Arka memfoto dirinya dengan Ajeng menggunakan kamera depan ponsel. Melakukan selfie tanpa persetujuan dan juga persiapan.
Tanpa peduli dengan aksi selfie itu, Ajeng mendecak kesal, "Aku bukan pacar Putra. Dan bukannya kamu udah punya pacar ya? Aku nggak mau dapat masalah dari pacarmu."
"Tenang aja, dia nggak bakal cemburu kalau gue jalannya sama cewek alim kayak lo. Cuma Putra aja yang merasa kesal saat ini."
Hubungan buruk antara Putra dan Arka mungkin sudah tersebar luas, tapi Ajeng belum mengerti apa yang membuat mereka sekarang saling membenci padahal saat hari ke dua MOS masih terlihat akur, "Apa ada masalah yang terjadi di antara kalian?"
Arka memposting foto yang tadi ia ambil ke grup Facebook sekolah, "Gue kesal dia pernah melakukan sindiran yang kejam bangat, dia tadi juga ngancem gue segala. Mending bales aja pake cara yang udah pasti bisa buat dia marah.”
Mata Ajeng memicing dengan jengkel melihat caption yang diketik 'kencan dengan cewek teralim di sekolah' beserta dengan lokasi mereka sekarang berada. Arka sangat sengaja memancing Putra agar datang ke sini.
Karena batas kesabarannya habis, sarkasme pun diucapkan Ajeng dengan intonasi tinggi, "Korban sinetron bangat sih sampai pakai menculik-culik segala!"
"Kalau gue korban sinetron, pasti Putra udah ditelepon agar cepat datang ke sini atau lo nggak bakal gue biarin pulang. Nggak drama kayak gitu gue mah.”
Memang sih, tapi tadi Arka menarik pergi dengan mengatakan akan menculiknya, bagi Ajeng ini tetaplah terlalu mendrama, "Kalian nggak ada bedanya, sungguh egois."
Arka menghela napas dengan pasrah, "Oke, kami mungkin punya banyak kesamaan. Saat pertama kali lihat Putra dan tahu dia berasal dari keluarga kaya, gue langsung tebak dia juga pasti kurang kasih sayang dari orang tua."
Dahi Ajeng mengernyit bingung, "Kurang kasih sayang?"
"Banyak orang yang menganggap anak orang kaya tuh pasti dimanja oleh orang tua kan? Tapi fakta berkata lain. Ortu sibuk kerja sampai buat anak kurang dapat perhatian.”
Mencari perhatian dengan membuat masalah ya? Yang dikatakan Arka terdengar masuk akal, tapi bukan berarti semua anak orang kaya pasti menjadi siswa bermasalah di sekolah kan? “Tunggu, Arka tuh selevel dengan Putra?”
“Yap, kami sejenis. Ingin bersenang-senang sebelum direpotkan bisnis keluarga. Cowok tuh walau hanya sekali pasti ingin berbuat nakal, dan masa SMA adalah saat yang sangat cocok."
Kedua netra Ajeng mengarah pada anting yang terpasang di telinga kiri Arka, entah itu hasil tindikan atau dipasang anting magnet saja, "Aku masih nggak ngerti."
Arka mengibaskan tangan kanannya, "Nggak perlu ngerti, tiap orang emang punya masalah hidup sendiri-sendiri. Ya udah lo mending pesan makanan aja, gue bayarin kok."
Sedari tadi mereka belum memesan apa-apa, cukup mengherankan karena pelayan cafe tidak mencoba mengusir mereka yang cuma asyik mengobrol saja, "Karena ditraktir, jadi terserah Arka aja."
Arka menyodorkan daftar menu pada Ajeng, "Jangan gitu dong. Lo harus pesan sendiri, hitung-hitung sebagai permintaan maaf udah seenaknya menculik lo."
Ajeng pun memesan wafel ice cream dan lemon tea. Sedangkan Arka memesan spageti dan ice cappucino.
"Kok nggak pesan yang ngenyangin aja?"
"Biar aku nanti masih bisa makan di rumah."
Arka melirik Ajeng yang duduk di sampingnya, "Harus ya ngomongnya pakai aku-kamu? Berasa lagi pacaran tahu kalau kayak gini."