Sudah dibolehkan mengajak Ajeng kencan membuat Putra tidak sabar menunggu hari Minggu. Bahkan saking semangatnya, Putra sampai membuat rencana segala.
Mengingat Ajeng tidak diizinkan pergi dengannya dalam keadaan memakai hijab, Putra sengaja mengganti kendaraannya dengan mobil. Minimal di tempat tertutup seperti mobil tidak akan menyebabkan salah paham seperti yang sudah terjadi sebelumnya.
Hanya di dalam mobil sambil melewati jalanan yang tidak ada polisinya masih terasa menyenangkan untuk dijadikan agenda kencan hari ini.
Tapi rencana yang sudah Putra susun seketika mendapat kejutan tak terduga saat menjemput Ajeng di rumah. Kenapa pacarnya ini sekarang malah berpenampilan perempuan?
"Kenapa?" tanya Ajeng dengan nada heran mendapati Putra yang tidak mengatakan apa-apa setelah dia sudah membukakan pintu rumah.
"Kakak lo nggak ada?" bukannya menjawab pertanyaan, Putra malah bertanya balik.
"Mas Aldo ada kok di kamarnya. Emang kenapa? Mau ketemu?"
Putra menggeleng, "Kakak lo yang satunya, yang posesif."
"Oh, Mas Aldi? Dia nggak ada, lagi ada tugas kuliah sama temannya."
Itu menjelaskan kenapa Ajeng bisa berpenampilan seperti ini. Kalau ada Aldi di rumah, mana mungkin Putra bisa mengajak Ajeng kencan dalam keadaan pakai hijab begini. Memang Putra senang dapat melakukan kencan dengan normal, tapi dia juga kecewa karena rencana yang sudah susah payah disusun terancam gagal dilaksanakan.
Yang Putra antisipasi menjadi teman kencannya kan Ajeng dalam penampilan cowok, bukan Ajeng yang biasa ia lihat di sekolah.
Sangat tidak disangka Ajeng sengaja memilih berpakaian perempuan cuma gara-gara dipanggil dengan nama Amir. Mungkin ke depannya Putra akan lebih sering memanggil gadis ini dengan nama Amir agar mereka dapat jalan sebagai pasangan normal, "Ya udah ayo kita pergi sekarang."
"Putra masih mau pergi kencan denganku?"
Sebelum sempat berbalik badan, Putra kembali menatap Ajeng dengan tatapan aneh, "Emang ada alasan untuk batalin acara kencan kita? Mau lo berpenampilan kayak gini atau pilih jadi Amir, yang penting kan gue bisa jalan sama lo.”
Tanpa memberi tanggapan, Ajeng melangkah keluar dari rumah sebagai konfirmasi kalau dia masih mau diajak pergi kencan.
Putra tersenyum kemudian menunjuk mobil yang terparkir di depan pagar rumah Ajeng, "Baiklah, ayo naik!"
Ajeng menarik kemeja kotak-kotak yang dipakai Putra, menahannya agar tidak pergi ke mana pun, "Tunggu dulu, kita naik mobil?"