"Lo benar-benar udah pacaran sama Putra?"
Ajeng dengan bingung menatap Gita yang baru saja bertanya, "Perasaan satu sekolah udah tahu tentang ini deh, kok masih tanya?"
Pandangan Gita mengarah ke suasana kelas saat jam istirahat, tidak ada banyak orang di dalam kelas, dan yang terpenting tidak ada Putra di sini, "Kalian berdua sama sekali nggak kelihatan kayak sepasang kekasih. Maaf."
Ajeng menghela napas. Untuk apa minta maaf? Dia juga sangat menyadarinya kok, "Aku tahu. Bahkan saat kencan pun kami lebih sering berdebat nggak penting dibanding melakukan adegan romantis."
"Gue nggak ngerti kenapa kalian bisa sampai pacaran."
Ini adalah hal yang terlalu sulit dimengerti, bahkan untuk Ajeng sendiri, "Aku juga bingung kenapa bisa menerima pernyataan cintanya."
"Kalau boleh jujur, lo lebih cocok pacaran dengan Ilham dibanding Putra."
Kedua netra Ajeng beralih melihat ke arah cowok yang Gita maksud. Dia mengerti kenapa mendadak dikatakan memiliki kecocokan dengan pemilik nama Ilham Ibrahim itu.
Setelah pelajaran agama yang membuat Ilham menjadi pusat perhatian secara mendadak, fakta yang mengungkap dia masuk pesantren saat masa SMP kemudian juga diketahui seisi kelas.
Cowok itu cocok mendapat image alim. Image yang sama seperti yang sudah dulu Ajeng dapatkan dari teman-teman sekelas.
Selain Gita, belum ada yang berani mengomentari mengenai kecocokan antara Ajeng dan Ilham, "Cocok karena sama-sama alim ya?"
"Iya."
Ilham terlihat memiliki sifat yang pasif, berbeda dengan Putra. Akan ada kecanggungan luar biasa yang Ajeng bayangkan jika yang menjadi pacarnya adalah Ilham.
Karena sama-sama dianggap alim, tidak berarti mereka cocok menjadi sepasang kekasih kan? Oh ayolah... akan membosankan jika dua orang yang memiliki sifat yang sama sampai berpacaran. Hubungan terasa lebih menyenangkan kalau memiliki banyak perbedaan sifat, "Aku justru merasa kecocokan yang ada malah buat kami nggak mungkin bisa terlibat hubungan percintaan."
"Loh, kenapa?" tanya Gita bingung.
"Ilham terlihat seperti tipe yang nggak banyak bicara, aku kurang cocok dengan tipe cowok kayak gitu. Dan aku jadi mengerti kenapa bisa nerima Putra dengan mudahnya."
Gita mengangguk beberapa kali, "Ajeng terlihat lebih hidup saat bersama dengan Putra."
Ajeng tertawa mendengar kata 'hidup', "Apa sikapku nggak sesuai bayanganmu?"
"Bukan begitu maksud gue. Lo terlihat lebih terbuka aja waktu lagi sama Putra, ah, dan juga lebih ekspresif."
Melihat wajah sungguh-sungguh Gita, Ajeng semakin tidak bisa menghilangkan senyum dari wajahnya, "Aku nggak pernah dapat teman cowok yang bisa diajak berdebat selain dengan Masku. Jadi rasanya menyenangkan waktu lagi bareng Putra."