Tidak ada satu pun teman sekelas yang bisa benar-benar dekat dengan Putra -kecuali Ajeng tentunya-. Jadi saat sendirian datang ke kantin, Putra akan duduk bersama dengan siapa pun yang dikenalnya, dan orang itu hanya dapat membiarkannya saja.
Dan karena kejadian kemarin, Putra hari ini harus mau menghabiskan jam istirahat tanpa Ajeng bersamanya. Gadis itu butuh menenangkan diri, dan Putra juga butuh introspeksi diri. Lebih baik mereka tidak saling bicara dulu daripada terus-terusan merasa canggung.
Putra dan Ajeng identik dengan pertengkaran. Pasti terasa tak nyaman jika mereka hanya saling diam tanpa adanya pembicaraan yang dilakukan.
Jadi di sinilah Putra sekarang, masih berintrospeksi diri sambil memperhatikan orang yang saat ini duduk di hadapannya.
"Kenapa ngeliatin mulu sih?" Bambang yang menjadi objek perhatian Putra akhirnya menyuarakan rasa tidak nyamannya.
Ajeng pernah mengatakan dibanding harus cemburu pada Ilham, lebih baik cemburu pada Bambang yang memiliki wajah manis, dan Putra tahu Ajeng tidak serius saat bicara seperti itu. Kan Ajeng bisa melihat wajah cowok manis setiap hari di depan cermin, pasti membosankan memiliki pacar yang juga punya wajah serupa kan?
Tapi apapun dapat terjadi, Putra tidak pernah mengabaikan siapa saja yang berpotensi menjadi saingan cintanya, "Gue masih nggak ngerti kenapa ada cowok yang pantas dapat pujian manis kayak lo."
"Gue begini karena faktor genetik."
Putra mengangguk paham, akhirnya menemukan jawaban dari rasa herannya karena Ajeng cocok menjadi laki-laki, "Gue ngerti tentang faktor keturunan karena kedua kakak Ajeng punya tampang di atas rata-rata. Tapi lo nggak bisa menjadikan faktor genetik sebagai alasan deh."
"Kenapa nggak percaya?"
Jari telunjuk Putra mengarah ke susu kotak kemasan 250 ml yang sedang diminum oleh Bambang, "Karena lo dengan cueknya bisa minum susu tanpa peduli tempat. Gue dapat merasakan dengan jelas tatapan para cewek yang saat ini sedang gemas lihat tingkah lo."
Bambang meletakkan susu kotak yang sedang dipegangnya ke atas meja kantin, "Gue cuma ingin mempercepat pertumbuhan tinggi badan gue."
Dibanding dengan Putra, Bambang memang sedikit lebih pendek 4 cm, tapi tinggi 160 sudah tergolong normal untuk remaja seusia mereka deh, "Dan berkat itu lo dapat julukan cowok manis. Gue benar kan ini nggak ada hubungannya dengan faktor genetik?"
Tidak mau berdebat melawan Putra, Bambang memilih mengangguk untuk mengiyakan, "Terserah lo deh. Tapi gue cukup senang belum sempat jadi siswa populer karena satu sekolah udah tahu ada orang lain yang punya wajah lebih manis dari gue."
Ajeng pelakunya. Putra juga sadar sekarang sudah tidak ada lagi yang menyindir atau mengatai Ajeng hanya karena semua siswi di sekolah sangat mengharapkan bisa melihat lagi Ajeng versi tak berhijab.
Dan Putra sangat bersyukur Ajeng terkenalnya di antara para siswi, dengan begini kan tidak harus ada orang lain yang berpotensi menjadi saingan Putra, "Lucu juga ya karena Ajeng bisa lebih populer dibanding lo yang benar-benar cowok?"
"Mungkin karena dia punya pipi yang lebih chubby?" gumam Bambang sambil menyentuh pipinya yang tirus.
Pipi Ajeng memang chubby, menggemaskan untuk bisa dicubit, dan lembut saat dicium. Tunggu, kenapa Putra ingat hal itu lagi sih? Dia kan seharusnya introspeksi diri karena ingin melupakan telah mencium pipi Ajeng.