Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hari Senin ketika penerimaan murid baru pasti akan membuat banyak jalan di kota Jakarta menjadi lebih macet dibanding hari-hari lainnya.
Entah pekerja kantoran atau siswa sekolah mengejar jam masuk mereka masing-masing. Banyak di antara mereka sengaja berangkat lebih pagi untuk terhindar dari keterlambatan. Jauh lebih baik datang terlalu cepat dibanding terlambat lalu mendapat teguran kan?
Sebagai seorang siswi yang mau memulai masa SMA-nya, Ajeng Maharani berhasil menjadi salah satu dari seratusan murid baru yang berhasil datang tepat waktu sebelum upacara penyambutan dilaksanakan.
Memang biasanya hari Senin pagi pasti akan dilaksanakan upacara bendera, tapi karena ini menjadi hari pertama penerimaan murid baru, upacara yang dilakukan berubah menjadi sambutan dari kepala sekolah dan ketua OSIS.
Hanya saja sebelum melakukan itu para murid baru yang terlambat datang disuruh untuk menyebut nama lengkap masing-masing dan diasingkan dengan cara berbaris di tempat yang mencolok.
Mengabaikan upacara yang mulai dilakukan, Ajeng meringis pelan melihat sepuluh orang yang terlambat itu. Pasti akan sangat memalukan jika dia menjadi salah satu di antara mereka.
Disuruh menyebutkan nama dan berdiri di sisi lapangan yang berlawanan dari sisi murid baru berbaris. Mau tidak mau ini membuat murid yang datang tepat waktu refleks mengingat wajah serta nama murid yang datang terlambat. Bagi Ajeng, itu sangat cukup untuk mempermalukan dirinya.
Tapi ternyata hukuman yang diberikan belum berakhir. Setelah upacara selesai dilaksanakan, sepuluh murid yang terlambat masih disuruh hormat bendera selama sepuluh menit sebelum diizinkan memasuki kelas seperti murid lainnya.
Ajeng melihat mereka dengan simpati sambil mengingatkan dirinya agar tidak sampai datang terlambat paling tidak selama MOS berlangsung. Benar-benar sangat tegas cara anggota OSIS mendisiplinkan calon adik kelas mereka.
Mencoba tidak berpikir terlalu jauh, Ajeng memasuki salah satu ruang kelas kemudian memilih duduk di bangku yang masih kosong dan cukup nyaman untuk melihat papan tulis dengan jelas.
Baru beberapa detik setelah Ajeng menyamankan diri dari posisi duduk, seorang perempuan duduk di sampingnya. Mereka saling menatap sejenak kemudian sama-sama tersenyum, tapi sebelum ada yang mulai mengenalkan diri, sebuah suara yang berasal dari arah meja guru terdengar.
Sang ketua OSIS yang sudah diketahui bernama Mario memukul meja guru menggunakan kedua telapak tangannya dengan pelan namun cukup untuk membuat pusat perhatian penghuni kelas mengarah padanya.
“Sepertinya semua sudah masuk kelas dan aku juga tidak perlu lagi mengenalkan diri, jadi kita bisa memulainya sekarang.”
Kalimat yang diucapkan Mario langsung membuat sebagian besar penghuni kelas dengan cepat mengeluarkan buku dan pulpen agar bisa mencatat apapun yang dianggap penting.
Dan benar saja, tanpa basa-basi Mario mengatakan tentang barang yang wajib dibawa besok beserta dengan bagaimana siswa dan siswi harus berpenampilan.
Tidak ada barang yang meniliki harga cukup mahal untuk dibawa besok, namun ada beberapa barang yang lumayan sulit didapat. Lalu untuk penampilan, semua masih ada ditahap wajar sampai tidak terlalu memalukan jika berangkat ke sekolah menaiki kendaraan umum.
Tapi jika boleh memilih, Ajeng lebih senang kalau ada seseorang yang mau mengantarnya ke sekolah selama MOS berlangsung. Dia tak mau mendapat tatapan aneh dari orang lain atau mungkin ditanya-tanya oleh supir ojek online.
“Lalu sebelum kita dapat giliran berkeliling sekolah, mungkin aku bisa mengenalkan ekskul apa saja yang ada,” kali ini Mario mengambil spidol dan mulai menulis di papan tulis.
Mau tidak mau seisi kelas mengernyit heran. Kenapa hal penting hanya sekedar diucapkan tanpa ada pengulangan dan hal yang tidak diminati semua orang justru ditulis di papan?