Ajeng sangat tahu dan sadar diri jika sosoknya yang tidak berhijab mirip sekali dengan cowok. Bahkan karena terlalu mirip cowok, pernah beberapa temannya sampai meminta foto bareng untuk diakui sebagai pacar.
Jadi tanpa pikir panjang Ajeng juga melakukan hal yang sama. Mengakui diri sendiri sebagai pacar untuk menghindari Putra. Tapi sekarang Ajeng berada di situasi yang sangat menegangkan karena Putra sedang menahan pergelangan tangannya.
Yang Putra tahu orang yang berada di hadapannya sekarang bernama Amir, cowok yang Ajeng akui sebagai pacar. Dan yang membuat situasi semakin rumit, Ajeng mengaku si Amir adalah anak pesantren. Putra pasti heran sekarang bisa menemui Amir di dalam gedung sekolah Pelita.
“Lo pacarnya Ajeng kan?”
Dengan gugup Ajeng mengangguk perlahan, semoga saja dia dapat mengatasi semua pertanyaan yang Putra berikan. Mudah-mudahan Putra juga tidak curiga sedikit pun dan tidak tahu kalau yang sedang ditahannya adalah Ajeng.
“Ngapain lo di sini? Lo bukan anak sekolah ini kan?”
Sebisa mungkin Ajeng mencoba merubah nama suaranya agar lebih berat dan cocok dimiliki oleh cowok, “Aku nyari Ajeng.”
Jari Putra menunjuk ke arah celana yang saat ini dikenakan oleh Ajeng, “Dengan celana olahraga sekolah ini?”
“Kenapa emangnya? Kalau gini aku jadi dibolehin masuk kan?”
“Terus kalau lagi nyari Ajeng, kenapa tasnya justru ada sama lo?”
Mata Putra sungguh sangat jeli memperhatikan detail-detail kecil yang bisa menyudutkan posisi Ajeng. Nih cowok memang seperti elang dan Ajeng kini seperti buruannya, “Tadi udah ketemu, lalu aku bawain tasnya.”
“Terus Ajeng sekarang di mana?”
“Ini lagi dicari.”
Saat wajah Putra bergerak mendekat, Ajeng refleks menjauhkan wajahnya, “Gaya bicara lo mirip kayak Ajeng.”
Ingin rasanya Ajeng memukul kepalanya sendiri, sungguh kebiasaan yang susah diubah. Dia memang terbiasa menggunakan gaya bicara ‘aku’ ‘kamu’, dia tidak kepikiran untuk merubahnya dan sekarang sedang menyesalinya, “Apa salah?”
Putra memandangi wajah orang yang ada di hadapannya dengan serius, “Wajah lo dilihat dari dekat juga mirip bangat sama Ajeng. Oh, gue tahu, jangan-jangan lo saudara kembarnya ya?”