Udara pagi pegunungan terasa menggigit seluruh kulit tubuh. Jaket yang dibawa Surya untuk mengatasi dinginnya AC di kereta api tak mampu mengatasi derasnya tusukan udara pagi itu.
“Huh….dahsyat betul dingin pagi ini”, bisik Surya pada diri sendiri.
Fajar sudah mulai lamat-lamat terang. Orang-orang sudah berarak kembali ke rumah usai menunaikan shalat subuh. Tapi dingin pagi itu belum juga usai.
Serabi panas dan kopi panas sudah siap di meja Surya. Aromanya terus memanggil-manggil. Sedikit pemanasan mengurai dingin yang tak juga usai itupun dilakukan Surya.
“Nanti mampir ke makam ibu sama bapak mas sebelum bezoek ke Rumah Sakit,” bujuk adik Surya, Lastri yang kini tinggal di rumah induk mendiang orang tua Umar.
“Insya Allah. Sekalian aku juga mau mampir ke Kyai Darja,” jawab Surya sambil terus menggerak-gerakan badannya mengusir dingin.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara Ali di pintu depan yang langsung menerobos masuk ke ruang dalam, lalu sigap ke arah tempat kopi, menyeduhnya dan kemudian duduk menghadapi jajanan pagi yang masih mengepulkan asap itu.
“Wah, mbak dahsyat ini sarapan paginya. Bakal makin gemuk aku,” seloroh Ali menggoda Lestari yang disambut Lestari dengan tatapan cemberut. Dan Ali, seperti biasa, terus saja nyerocos. Sampai kemudian, Surya kembali bersuara dan merubah suasana.
“Li, aku beberes dulu terus kita langsung jalan sowan ke Kyai Darja, ziarah ke makam ibu, bapak, terus ke rumah sakit,” ucap Surya sambil berlalu menuju kamar dan spontan disambut Ali, “Siap kang.”
Waktu pun terus berjalan. Matahari perlahan bergerak naik ke tengah. Surya ditemani Ali mengawali perjalanan pagi itu menuju kediaman Kyai Darja. Salah satu tetua, pengganti Kyai Safii yang kini masih tersisa, selain juga guru ngaji dan sekaligus guru silat Surya kala masih kecil dulu.
Namun Surya hanya bisa ketemu Kyai Darja di tengah jalan, ketika sang kyai menuju Masjid, tempatnya mengajar ngaji pada pagi itu. Akibatnya, pertemuan itu pun hanya sesaat, selain berisi sekadar basa-basi, saling berkabar sehat dan sekadar bercengkerama mengurai kangen antara guru dan murid. Ada rasa kecewa di diri Surya, tetapi ia mencoba menepis kuat-kuat. Dan semua kemudian Surya tumpahkan di makam ibu dan bapaknya.