Tiba-tiba tangan wa Limin meraih tangan Surya. Erat ia menggenggam. Pada mulanya tidak ada kata sepatah juga. Lalu tiba-tiba air mata wa Limin tampak menetes. Orang tua itu menangis tertahan, kemudian ia berujar.
“Sur, kamu tahu juga kan, di tempat ini dulu bapakku meninggal. Beliau meninggal dengan luka di leher dan punggung. Aku yang kala itu masih kelas 3 SD melihat beliau yang terluka dengan perasaan tidak karuan. Merah, biru, kuning dan gak jelas. Beliau terluka karena menghalangi sebuah clurit yang diarahkan ke dokter Hari yang kala itu praktik di rumah sakit ini,” urai wa Limin yang kemudian tampak menerawang jauh, merambati luka-luka bapaknya yang seakan ia rasakan sakitnya.
Surya dan lainnya pun terbangun antusias mendengarkan kisah Mbah Mardi, bapak wa Limin yang meninggal pada 1965, yang meskipun sudah banyak diceritakan, tetapi sebagian-sebagian. Belum ada versi lengkapnya. Mereka berharap, cerita wa Limin tentang mendiang bapaknya itu bener-bener dari A hingga Z. Lengkap juga tuntas.
“Maaf wa, kalau dokter Hari itu apanya Mbah Mardi sebetulnya,” tanya kang Amin tiba-tiba.
“Sebetulnya tidak ada hubungan apa-apa Min,” jawab wa Limin.
“Menurut cerita bapak, dokter Hari itu aslinya orang Cirebon. Setelah lulus sekolah di Jogja, beliau bertugas di rumah sakit ini,” terang wa Limin.