Dari arah pintu, tiba-tiba terdengar suara ketukan. Tak lama kemudian tampak seorang dokter masuk diiringi perawat untuk memeriksa kondisi pasiennya. Kami para penjenguk pun kompaj menepi, bahkan ada yang keluar ruang.
Dokter dan perawat itu cekatan membaca papan status yang digantung di ujung tempat tidur pasien. Sambil mengangguk-anggukan kepala, sang perawat membacakan status pasien itu sebagai info pada sang dokter.
Tak lama kemudian, sang dokter berbicara dengan wa Limin dan kemudian ke istrinya yang setia mendampingi. Hanya sekitar lima menitan, sang dokter dan perawatnya itu pun berlalu meninggalkan kami sambil mengangguk ramah, mohon diri. Dan kami pun seakan kompak mengangguk tak kalah ramah, sambil berujar, “trimakasih dokter.”
“Alhamduillah, Insya Allah wa Limin dua hari lagi bisa pulang,” ucap sang istri wa Limin sumringah.
Sekali lagi, kami pun kompak mengucap, “Alhamdulillah.”
Lalu semua kembali diam seribu bahasa. Hanya suara nafas yang samar terdengar.
“Wa, maaf, aku juga ingin tahu dan nyambung obrolan yang baru lalu, apa sih yang sesungguhnya terjadi sehingga masyarakat kita kok bisa berperilaku seperti itu. Bukankah itu dengan sebangsa sendiri? Bukankah saat itu kita juga sudah cukup waktu dari pembacaan teks proklamasi kemerdekaan?” Tanya Ali pada wa Limin merobek keheningan.
“Kan, sudah banyak di buku sejarah li. Kayak bukan anak sekolah aja kamu ini,” potong Amin memungkasi pertanyaan Ali.