Siang itu di kantin Fakultas Sastra, Luna dan Cheryl terlihat sedang berbincang asyik sambil menyantap mie kuah yang dipesan keduanya. Ini merupakan hari ketiga keduanya melaksanakan kegiatan belajar sebagai mahasiswa. Luna tak lagi mengutuki nasib dirinya diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra sebab ia menemukan Cheryl. Keduanya langsung menjadi sangat akrab dan sangat dekat seperti sudah bersahabat dari dulu. Menurut Luna, pertemuannya dengan Cheryl memang sudah diatur baik oleh Tuhan. Sebab banyak mahasiwa lain yang masih harus menyesuaikan diri dan mencari teman yang benar-benar dihadirkan untuk mereka, namun tidak bagi Luna dan Cheryl. Sejak hari pertama, keduanya langsung menempel tak terpisahkan.
“Lo udah nemu cowo yang ganteng belum sih?” tanya Cheryl. Luna mengerenyutkan bibirnya, mencoba mengingat-ngingat kembali anak sastra yang pernah ia lihat. Tiba-tiba memori yang muncul adalah tatapan tajam yang seringkali menusuk matanya dan perasaan menakutkan yang semua itu berasal dari laki-laki yang ia tabrak saat hari pertama OSPEK. “Hmm...” “belum sih kayanya,”
“Sumpah! Susah banget gila nyari yang enak dipandang di sastra,” ujar Cheryl,”
“Eh! Temen sekelas lo ganteng ah,” lanjut Luna,
“Jangan bilang si Galih...,” Luna mengerutkan jidatnya terheran, “Loh, kenapa emangnya??”
“Omg Na, lo coba ya ngobrol sama ntu anak lima menit aja, eh ngga..tiga menit aja Na, lo akan mengerti alesannya kenapa,”
Luna tertawa kecil masih tak mengerti dengan perkataan Cheryl, “Ngapa si??”
“Dia anaknya oon banget Na, percaya sama gue. Ya dia emang ganteng, tapi cukup untuk lo pandang aja, nggak untuk diajak ngobrol,”
“Ya dia ganteng bule gitu sih, not my type tapi,” tutur Luna, “tapi kalo ngomongin cowo ganteng di sastra, ya masuk nggak sih?”
“Hmm...masuk masuk, ASAL...”
“Nggak ngobrol!” sontak keduanya berbicara bersamaan dan tertawa lepas.
“Jujur gue masih takut buat suka sama orang lagi sih, Ker,”
“Why??” tanya Cheryl,
“Gue sebenernya masih proses healing dari orang yang pernah deket sama gue waktu SMA,” jawab Luna, “oh iya, dia tuh seSMA sama lo kok!” lanjutnya,
“Siapa gak?!” tanya Cheryl penasaran,
“Revan, lo tau gak?”
“ANJIR REVAN??? Yang sekarang punya coffee shop sendiri itukan??” tanya Cheryl,
“Iya! Lo kenal?!”
“Kenal woy! Emang fakboi banget sih anaknya, ugh Na untung lo udahan sama dia,” keduanya semakin melekat melalui perbincangan tentang Revan, lelaki yang pernah mengisi hati Luna semasa SMA. Semenjak kedekatannya dengan Revan yang berujung menyakitkan itu, Luna merasa ia butuh waktu untuk dirinya sendiri dan tidak ingin terjun ke dalam dunia percintaan.