Suara langkah kaki terdengar perlahan, Luna berjalan ke ruang makan di suatu kediaman yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Rumah itu terlihat seperti bangunan tua pada masa penjajahan Belanda namun terasa sejuk dan terlihat sangat rapi. Luna berjalan ke arah meja makan yang berbentuk bundar dengan kursi kayu berjumlah tiga dan mendapatkan nenek sedang menuangkan teh pada cangkir yang sudah tertata rapi di meja. Nenek terlihat lebih muda saat itu dengan dandanan seperti biasanya. Luna yang mematung ketika melihat nenek, segera merekahkan senyumnya dan berjalan mendekati nenek heran.
“Abuelita?” tanya Luna yang langsung disapa hangat oleh nenek,
“Sini duduk Na sama nenek,” ucap nenek menaruh teko dan duduk di kursi kayu itu, Luna pun mengikuti perintah nenek sambil masih mencari tahu tempat apa ini,
“Kalian kok kemarin saur gak nungguin nenek sih,” celetuk nenek,
“Abuelita...Luna yang harusnya tanya, abuelita kemana aja? Kita semua nungguin nenek di rumah. Luna kangen tau sama nenek, beda banget rasanya puasa gak ada abuelita,” tutur Luna. Nenek tersenyum kecil dan memegang tangan Luna.
Pandangan Luna seketika menjadi buram yang kemudian disusul dengan cahaya putih yang semakin lama terangnya menutupi seluruh penglihatan Luna. Gadis itu memejamkan kedua matanya dan kemudian membukanya secara paksa. Ia melihat jam dinding yang berada di kamarnya dan melihat Chelya sedang tertidur pulas di sebelahnya. Luna memegang kepalanya, menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.
Hfff, cuma mimpi
Luna berkata dalam hati yang kemudian dibuat melamun sebelum melanjutkan tidurnya, ia meneteskan air matanya lalu mengusapnya dan memejamkan matanya, mencoba untuk kembali tidur.
***
Bulan ramadhan akhirnya datang, namun tidak dapat dibohongi, semua tidak bisa menyambut bulan yang suci ini dengan kebahagiaan. Puasa kali ini sangat berbeda, tidak ada nenek yang ikut menyiapkan saur ataupun acara membuat kue nastar dan cokelat khas nenek bersama nenek.
Pagi itu terdengar suara-suara orang tua yang sedang berbincang serius di meja makan. Luna yang saat itu sedang tidak menjalankan ibadah puasa dan baru saja bangun, hendak untuk mengambil air minum pun tak sengaja mendengarkan obrolan orang tuanya.
“Mau gak mau, ibu harus tetep di rawat di ICU dulu. Maya trauma banget kalo kita yang jaga lagi, nanti malah ibu ga keawasin dengan baik,” tutur tante Maya,
“ICU itu biayanya mahal May, kita bisa menghabiskan berpuluh juta hanya untuk beberapa malam,” ua Bara menanggapi,
“Begini saja, kita tunggu ibu sadar. Kalo kondisi ibu semakin membaik, kita minta pindahkan ke kamar biasa lagi,” tutur ayah,
“Ibu itu kemarin baru saja menghilang...ibu sempat meninggal...Saya hampir kehilangan ibu saya! Kita harus memberikan yang terbaik untuk ibu, tidak peduli berapapun biayanya,” ua Amel, anak pertama dari nenek itu berkata dengan nada yang meninggi, terlihat jelas ia masih merasakan syok akibat kepergian nenek yang mendadak 1 hari yang lalu.
Ibu hanya menangis tak bisa menyampaikan suaranya, ibu adalah orang yang sangat sensitif dan emosional sehingga kesulitan untuk mengekspresikan apa yang dirasakannya melalui kata-kata. Ayah hanya mengelus pundak ibu, menenangkannya.
“Iya sudah, sekarang ini kita semua harus kompak menjaga ibu. Kita semua sedih, tapi kita harus kuat untuk ibu. Begini, kita buat jadwal, kapan saja dan siapa yang menunggu ibu di rumah sakit,” ujar ayah kembali,
“Bagaimana kalo ibu-ibu jadwal pagi sampai siang, sore sampai malam biar Bara dan Hendra yang menginap di rumah sakit menunggu ibu,” ua Bara memberikan suaranya,
“Iya sudah begitu saja, biar ibu-ibu bisa tidur enak di rumah jugakan,” tambah ayah,
Luna yang masih berdiam di tangga tak melanjutkan langkahnya sebab tidak ingin mengganggu pembicaraan orang tuanya, gadis yang berumur 3 tahun lebih tua diatas Luna tak sengaja mengagetkan Luna yang masih terdiam itu, “Ngapain Na?” tanya Syifa heran,
“Duh! Syif, bikin kaget aja lo,” Luna mengelus dadanya,