Semua yang terjadi pada keluarga nenek memang memberikan perasaan yang tidak enak. Perpecahan itu sangat terasa bagi keenam cucu nenek, seringkali keenamnya berpikir keras bagaimana cara menyatukan keluarganya kembali agar seperti semula, saat nenek masih bersama mereka.
“Guys,” ucap Syifa yang masuk ke kamar Luna,
“Kenapa?” Luna bertanya sambil melanjutkan mencatok rambutnya,
“Besok kita pulang ke Jakarta,” jawab Syifa,
“Hah???” Alisha terheran,
“Gimana ceritanya lo balik tapi nenek masih di ICU,” Luna mengernyitkan alisnya, ikut terheran,
“Duh gatau deh Na, gue juga sebel banget. Tapi bokap gue tadi udah marah-marah dan nyuruh kita besok pulang,” tutur Syifa.
Suasana kamar pun menjadi hening dan terasa berat, “Siapa aja yang pulang?” tanya Alisha,
“Kita semua. Asli gue kesel banget sekesel-keselnya, kenapa ngedadak sihhhh,” jawab Nadila emosi,
“Gara-gara kejadian kemaren?” tanya Luna,
“Kayaknya, duh beneran deh gue udah gak bisa ngomong apa-apa Na,” ucap Syifa,
“Lah yang jagain nenek nanti gimana?” tanya Alisha lagi,
“Gatauuu, sumpah gue kesel banget sama papa,” celetuk Chelya. Keenamnya pun terdiam dan melamun tak berdaya. Luna memikirkan kesedihan yang dirasakan neneknya apabila mengetahui ketiga cucunya dan anak pertamanya tidak ada untuk menemaninya di rumah sakit.
***
Meja makan sudah dipenuhi dengan makanan yang sudah disiapkan, semua makan sambil bercanda tawa seolah kemarin tidak terjadi apa-apa. Kakek merasakan kehangatan yang sudah hilang sejenak semenjak nenek dirawat, terlihat dari raut waja kakek yang tersenyum sepanjang makan malam bersama. “Eh pak, Citra, Maya...nanti saur Amel dan keluarga ijin pulang ya ke Jakarta,” celetuk ua Amel yang kemudian diiringi dengan keheningan keenam cucu nenek. Kakek sangat terkejut dan masih menanggapi dengan baik, “Kenapa memangnya?” tanya kakek,
“Nadila dan Chelya kan masih harus ngurusin sekolah barunya pak, belum lagi ada berkas-berkas yang harus disiapin dari sekolah lamanya. Maaf banget ya pak, tapi ya gimana lagi. Amel juga masih punya anak-anak yang harus Amel urusin pak,” perkataan ua Amel disambut dengan respon palsu dari kakek dan tatapan sinis dari ibu juga tante Maya, “Ohh ya sudah kalau begitu,” jawab kakek,
“Kenapa gak nanti pagi aja Mel?” celetuk tante Maya,
“Maunya juga pagi sih, tapi takut keburu macet. Jadi kata mas Bara lebih baik pas saur aja biar masih lowong ya jalanannya,” jawab ua Amel,
“Iya, hati-hati saja ya. Insya Allah ibu akan kita selalu jaga,” ucap kakek,
“Maaf banget ya pak, aduh, maunya juga nemenin ibu. Tapi ya gimana ya, kasian anak-anak masih belum pada punya sekolah ya, ini baru lulus hehehe,” ujar ua Amel kembali.
Suasana makan malam saat itu menjadi tidak enak. Terutama keenam cucu nenek yang sangat yakin, bahwa omongan ua Amel memperburuk kedekatan dan keeratan keluarga nenek. Dalam hati ibu, sebenarnya sangat tidak menyangka bahwa ternyata kakak pertamanya bisa setega itu meninggalkan kakek dalam kondisi seperti ini dan juga meninggalkan nenek. Ibu seperti tidak mempunyai bahu untuk bersandar, terutama dalam menyelesaikan biaya rumah sakit nenek. Ibu berpikir, apakah harus saya lagi yang membiayai semuanya?